Tim Ridho-Ola kudu hepi2 di bab ini. Jangan nyari-nyari Hans. Kalian, kan, bencik ama dia.
Ramein kolom komen, yes.
***
50 51 Pelangi di Langit Gladiola
Hingga dua hari usai kedatangannya ke rumah keluarga Ridho, Gladiola jadi tidak bisa berpikir dengan jernih. Beberapa kali dia gagal fokus pada pekerjaannya dan hampir salah menginput jumlah unit barang yang sedang dia supervisi. Untung saja anak buahnya mengingatkan dan Gladiola mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Meski begitu, ucapan Riana dan ibu Ridho telah membuatnya memikirkan perkataan mereka hingga larut malam.
“Kalian itu sudah cukup lama sama-sama, toh? Jadi Ibu nggak perlu basa-basi lagi. Ridho juga sudah dewasa. Sudah butuh kepastian mau dibawa ke mana hubungan kalian. Toh, ujung-ujungnya pasti ke jenjang pernikahan, kan? Ngapain juga ditunda-tunda lama?”
Kalimat yang keluar dari bibir ibu Ridho membuat Gladiola terdiam selama beberapa saat. Namun, belum sempat dia memproses semua itu di kepala, Riana melanjutkan ucapan ibunya, “Lo berenti aja kerja. Ridho bisa, kok, nyukupin kebutuhan kalian. Temenin ibu di sini, kasihan sendirian. Gue mesti ikut suami dan Rini juga mesti bolak-balik kuliah. Yah, namanya juga mantu. Nanti bisa-bisa lo, lah.”
Gladiola tidak tahu, apakah Riana tidak sadar kalau nada dan kalimat yang dia pilih saat bicara barusan kurang apik diterima di telinga wanita muda itu. Dia berharap, Riana bisa lebih bijak memilih kata karena dia jauh lebih dewasa dibandingkan Gladiola. Juga, karena latar belakang pergaulannya dengan para istri pejabat bank. Pertama, soal menikah. Gladiola tahu, hubungan percintaan mana saja tentu akan bermuara di sebuah ujung yang bernama bahtera rumah tangga. Tapi, hal tersebut juga bukan keputusan sepihak. Gladiola tidak hidup sendiri. Dia juga punya keluarga yang mesti dia konsultasikan setiap keputusannya.
Kedua, Gladiola merasa hidup di Jakarta dengan mengandalkan Ridho saja sudah pasti adalah sebuah perjuangan amat berat. Dia bukan mengejek gaji calon suaminya itu. Akan tetapi, seorang laki-laki tidak mungkin akan menyerahkan semua gajinya kepada istri, apalagi ada ibu dan adik perempuan yang butuh sokongan finansial. Keluarganya saja masih bergantung kepada Gladiola dan bila dia memilih fokus di rumah, dia tidak bisa membayangkan dari mana Gladiola akan mengeluarkan dana demi membantu keluarganya sendiri.
Usaha sampingannya? Tentu saja itu akan sangat berguna. Tapi, dari pembicaraan Riana dan ibunya, mereka menginginkan Gladiola mengabdi sepenuhnya kepada keluarga dan dengan berat hati dia mungkin akan menutup usahanya tersebut. Membayangkannya saja sudah membuat kepalanya pusing. Dia memang cinta dan sayang kepada Ridho, tapi dia realistis, dirinya juga butuh uang, keluarganya juga dan dari pengalaman-pengalaman sebelum ini, wanita yang hanya mengandalkan gaji suami hampir selalu dipandang sebelah mata karena dianggap sebagai biang kerok pengeruk harta suami.
Dan ketiga, tinggal bersama ibu Ridho, dia tidak menolak. Tapi, bukankah sebaiknya ada pembicaraan walau Ridho adalah satu-satunya anak laki-laki. Gladiola sejak dulu sudah terbiasa mengurus neneknya yang kini sudah meninggal. Mengurus Ibu Ridho yang lebih sehat tentu bukan masalah. Akan tetapi, sebaiknya anak kandung wanita itu yang lebih berhak, selagi masih ada kesempatan untuk mengurus orang tua yang hanya tinggal ibu saja.
Saat pulang kerja, Gladiola meminta agar Ridho tidak perlu menjemput. Gladiola ingin bertemu dengan Kania lalu meminta pendapatnya. Menikah bukan untuk satu atau dua hari. Ada banyak konflik yang mesti dia pertimbangkan demi kelangsungan masa depan dan dia yakin sekali, menikahi Ridho bukan berarti dia hanya mengenal dan mengetahui pria itu saja melainkan juga keluarganya dan obrolan di hari Minggu sore kemarin telah membuat dia merasa agak panik.
Nia pasti tahu jawabannya. Gagal kawin sama Dino mungkin bakal membuat pikirannya lebih terbuka, bisik Gladiola kepada dirinya sendiri ketika Kania minta diajak bertemu di sebuah mal dan dia menyanggupi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi di Langit Gladiola
ChickLitPelangi Langit Gladiola vs Hans Bastian Adam