42

6K 1.5K 72
                                    

42 Pelangi di Langit Gladiola

Seolah tahu kalau Gladiola datang ke Palembang untuk bekerja, selama dua hari berikutnya, Hans Bastian Adam tidak lagi mengganggu wanita berusia akhir dua puluh empat tahun tersebut. Gladiola tampak sangat senang sehingga kemudian dia menjadi amat fokus melakukan pelatihan dan juga membantu meninjau kantor cabang mereka yang letaknya di daerah jalan Soekarno Hatta. Selain itu, Gladiola juga diajak melihat-lihat konter kosmetik yang letaknya berada di sebuah mal di pusat kota Palembang. Dia juga memberi banyak masukan tentang promosi dan juga tata cara men-display produk yang kemudian membuatnya sadar, alangkah lucu hidupnya saat ini. 

Di kantor, bahkan di Palembang, orang-orang amat menghargai Gladiola. Mereka selalu memperlakukannya dengan amat baik. Gladiola juga diajak berkeliling Palembang, mencicipi kekayaan kuliner dan tidak lupa, mencoba busana asli daerah yang membuatnya langsung teringat sang mama. Di hari ketiga, Gladiola langsung minta diantar berbelanja kain khas daerah yang berada di Ilir Barat 1, tepatnya di kawasan Pasar 16 Ilir baru. Dia membeli sebuah kain songket dengan mutu bagus, kain pelangi, batik Palembang untuk papa, dan walau menyebalkan melihat wajah adiknya, dia tetap membelikan sebuah setelan untuk Ranti. Malah, kalau dipikir, untuk pertama kali dia membelikan pakaian seragam untuk keluarganya. Nanti, mereka bisa memakainya bersama-sama saat hari raya tiba. 

Meski begitu, ketika kembali lagi ke konter kosmetik yang tadi telah dia datangi, penampakan Kania dan Dodo di pintu depan lobi utama membuat Gladiola hampir tercekik. Andai tidak bersama staf kantor, sudah dia kejar dan jambak rambut sahabatnya itu karena sudah berani mengajaknya kucing-kucingan selama beberapa hari terakhir ini.   

Aduh. mereka jalan ke mana? Gue nggak bisa ikutin. Kalau dari kata-kata Hans minggu kemarin, Nia, kan, mau kawin lari. Tapi, sampai sekarang kerjaannya ngemal terus. Gue penasaran banget. Cuma, nggak etis kalau gue nyamperin dia … 

Selama beberapa detik, Gladiola seperti sedang berperang dengan batinnya sendiri sampai akhirnya, ketika dia memasuki konter kosmetik tempatnya akan kembali bekerja, dia memutuskan untuk permisi selama beberapa saat. Tujuannya? Walau kesal, dia tahu saat ini Hans mungkin sedang pusing. Semakin lama di Palembang tentu menghambat pekerjaannya yang lain dan jika bukan rasa kasih sayangnya kepada kedua orang tua Kania dan Hans, dia tidak bakal melakukan hal tersebut.

“Halo, Hans? Lo bisa ke Palembang Icon sekarang?” 

Gladiola sempat menjulurkan kepala, mencoba mencari-cari posisi Kania saat ini. Tapi, dia tahu sahabatnya itu masih lama berada di mal mengingat dia dan Dino baru saja masuk beberapa menit yang lalu. Gladiola juga menunggu reaksi Hans yang biasanya GR ketika dia menelepon. Tapi, Gladiola merasa tidak punya waktu untuk mencemaskan hal tersebut.

“Bukannya lo sedang sibuk? Gue nggak mau ganggu.”

Jawaban Hans membuat Gladiola sempat terdiam sebentar. Tapi, kemudian dia menjawab dengan nada biasa, “Gue emang masih kerja. Tapi, barusan gue lihat Nia sama Dino datang ke mal. Gue nggak bisa ujug-ujug labrak dia, makanya gue telepon lo.” 

Ada keheningan selama beberapa saat di seberang dan karenanya, Gladiola kembali memperhatikan ke arah dalam konter, tempat beberapa staf masih berdiri menunggu.

“Lo bisa datang, nggak? Gue masih harus ikut briefing…”

Ada jeda lagi dan Gladiola berpikir kalau Hans sedang mempertimbangkan untuk datang ke tempatnya. Tapi, bukankah tujuan pria itu ke Palembang adalah untuk membawa kembali Kania ke Jakarta?

“Makasih, La. Ntar gue nyusul.”

Baguslah. Pikir Gladiola. Dia tidak melanjutkan percakapan mereka melainkan kemudian menyelesaikan panggilan. Namun, sedetik kemudian dia merasa kalau kelakuan Kania cukup membuatnya sebal dan beberapa pesannya tidak pernah dibalas oleh sahabatnya itu padahal dia tahu kalau Kania membacanya. Gladiola juga ingin melihat, seperti apa sikap Kania ketika Gladiola meneleponnya dan serta merta dia melakukannya saat itu juga. Siapa tahu, Gladiola mendapatkan sedikit keberuntungan. 

“Nggak diangkat. Dasar sahabat ga punya perasaan.” Gladiola menahan jengkel sambil melihat layar ponselnya yang masih memanggil. Dia sudah bertahun-tahun berteman dengan Kania. Hampir semua umur dia habiskan menjadi sahabat adik Hans Bastian Ada tersebut. Tapi, gara-gara Dino, seolah-olah semua memori yang telah mereka habiskan bertahun-tahun, sia-sia begitu saja. Kania melupakannya bahkan saat Gladiola menelepon dan mengirimkan pesan kepadanya.  

“Lo bisa aja ngerasa dunia punya kalian berdua sekarang, tapi, kalau gue udah kelar tugas terus kita ketemu, gue bakal berada di pihak Hans dan bantu dia geret lo balik ke Jakarta.” Gladiola bicara kepada dirinya dan berharap hal tersebut bisa terkabul sebelum dia kembali ke Jakarta. Kania Bella Adam mesti mendapatkan hukuman yang setimpal.

***

Menjelang pukul empat, Gladiola yang sedianya hendak kembali ke hotel mendengar ribut-ribut di dekat atrium yang letaknya tidak jauh dari tempat konter kosmetik mereka berada. Dia yang biasanya tidak mau kepo, ternyata tidak bisa menahan diri terutama karena dia tahu dengan jelas beberapa jam lalu dia menghubungi Hans agar mendatangi mal tempatnya berada. 

“Pulang!”

“Nggak!”

Bahkan, Gladiola merasa jarak dari tempatnya berdiri dengan sumber keributan tersebut tidaklah terlalu jauh. Dia juga yakin mendengar suara Hans dan teriakan penolakan dari bibir Kania yang amat familiar di telinga.

“Ada yang berantem, Mbak Lala.”

Lala, begitu anak-anak Palembang memanggilnya. Dia juga tidak protes terhadap panggilan tersebut. Gladiola yang yakin sekali dugaannya, memilih mendekat.

“Masalah keluarga.” bisik salah seorang pembeli di konter kosmetik tempat Gladiola berdiri saat ini. Dia juga tahu tentang hal tersebut. Gladiola sendiri merasa kalau dia juga ingin melompat ke depan dan ikut memarahi Kania. Tapi, suara berikutnya yang dia dengar kemungkinan besar adalah suara Dino.

“Hans, sabar dulu. Aku bisa jelaskan.”

“Lo jangan banyak bacot. Habis ini lo bakal gue laporin ke kantor polisi karena melarikan anak orang. Sialan.” 

Lalu terdengar suara orang berteriak dan seketika suasana menjadi gaduh. Suara tangisan Kania membuat Gladiola terpaksa menyibak tubuh-tubuh asing yang tidak dikenal, hingga panggilan para staf yang berusaha memanggil namanya.

“Mbak Lala jangan ke sana, bahaya.”

Gladiola tahu, dia punya pilihan untuk tidak ikut campur masalah keluarga sahabatnya tersebut. Tetapi, tanpa perlu menduga-duga, dia tahu kalau saat ini Hans sedang menghajar Dino dengan segenap tenaganya dan dia perlu memperingatkan Hans kalau saat ini mereka sedang berada di kota orang. Perbuatan kriminal sudah pasti bakal menyusahkan mereka sendiri. 

Dugaan Gladiola beberapa saat kemudian tidaklah salah. Ketika sampai di sumber keributan, dia melihat Kania sedang berusaha menarik tangan kanan Hans sementara dua orang dari pihak keamanan sedang membantu Dino berdiri. Setelahnya, Kania berusaha mendekati kekasihnya, namun suara Hans membuat langkahnya terhenti. Meski air matanya terus jatuh dan dia tidak berhenti mengatakan kalau Hans bukanlah manusia, Kania menjadi ciut karena abangnya berkata kalau Dino harus dibawa ke kantor polisi dan dia akan membuat laporan di sana sekaligus bertanggung jawab bila Dino hendak menuntutnya juga.

“Untung cuma giginya gue bikin patah. Kalau gue nggak lo peganging, burungnya bakal gue matiin juga.” Hans mendesis. Orang-orang di sekitar mereka sudah mengeluarkan ponsel dan mulai merekam dan Hans sendiri menganggap santai semua itu. Bila semua orang ingin melaporkan perbuatannya, masa bodoh. Tapi, sudah pasti orang-orang bakal menghujat Dino yang kini sekarang jadi tersangka yang membawa kabur anak perempuan orang.

“Jangan dibawa, Mas.” Kania memohon. Air matanya jatuh berbulir-bulir dan dia juga terlihat sekali ingin memeluk Dino.

“Nurut kata Hans, Nia.” suara Gladiola serta merta membuat Kania refleks menoleh ke arahnya. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu memandang syok ke arah Gladiola yang tidak dia sangka-sangka juga sedang berada di tempat itu.

“Lo. Lo kenapa ada di sini, La? Lo sekongkol sama Hans?”

Drama. Pikir Gladiola ketika melihat Kania mulai histeris. Apakah dia mesti bicara sekarang? Suasana di sekitar mereka sudah mulai tidak kondusif dan belum sempat bicara, anak buahnya sudah berdiri di belakangnya dan memintanya untuk pergi.

***






Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang