sepuluh

11.5K 2.4K 156
                                    

Di KK dan KBM olahans udah bab 22. Silahkan mampir buat yang nggak sabaran.

***

10 Pelangi di Langit Gladiola.

Lewat satu minggu dari peristiwa di supermarket The Lawson, menjelang pulang sekolah, saat guru yang mengajar mereka harus mengikuti briefing mendadak, Kania sengaja menemui Gladiola yang termenung di mejanya, mencoret buku sketsa miliknya yang kini sepertinya masih baru menurut pengamatan Kania. Dia mengerenyitkan dahi sewaktu melihat sosok Ko Edward yang kembali digambar oleh sahabatnya. Wajah itu tidak asing dan dia merasa pernah melihatnya sebelum ini.

"Lo ngapain ke kelas gue? Balik sana. Ntar kena marah." Gladiola mengangkat kepala demi mengusir Kania. Bukan tidak suka pada kehadirannya, melainkan khawatir. Beberapa anak perempuan yang sok menjadi kesayangan guru, seringkali berinisiatif mencatat nama siswa yang gemar jalan-jalan dan membuat keributan. 

"Lah, yang lain juga pada keliaran. Kalau dihukum, bareng-barenglah." balas Kania santai dan penuh percaya diri. Tinggal Gladiola saja yang berdecak, tidak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya.

"Ada-ada aja." Gladiola membalas lagi. Tidak seperti biasa, dia jadi irit bicara. Matanya sedikit sembab padahal ini sudah jam pelajaran terakhir. Tidak terbayangkan bila dia melihat wajah Gladiola di jam pelajaran pertama. Kania merasa penasaran. Tetapi, bila itu berkaitan dengan sahabatnya, dia tahu, topiknya tidak jauh-jauh dari Hans, Ranti, atau orang tuanya. 

"Bukan. Tadi gue kena omel Bu Yanti. Soal pilihan kuliah.”

Kania diam sejenak sebelum dia memikirkan kalimat yang tepat untuk dia katakan kepada Gladiola yang masih mengarsir buku sketsa di hadapannya.

“Memangnya ada bahas apa?” tanya Kania. Dia selama ini tahu tentang keputusan sahabatnya, tetapi Kania dengan bijak menunggu hingga Gladiola sendiri yang bicara. 

“Dia bilang sayang kalau gue nggak lanjut. Tapi, lo tahu, kan, sebenarnya gue gimana?” 

Gladiola tidak menjelaskan. Sebagai ganti, dia seolah menyuruh Kania untuk menyimpulkan sendiri kalimatnya tadi. Kania, dengan sekali tebak paham, Gladiola bukan tidak ingin kuliah. Dia amat mau. Tapi dompet dan kondisi keuangan keluarga tidak mendukung. 

“Seharusnya lo bilang minta doain, gitu. Gue juga yakin, Bu Yanti nggak ada niat ngatain. Kebanyakan yang masuk SMA, kan, biasanya milih lanjut kuliah.”

“Kebanyakan.” Gladiola memotong, “sekian persen pasti ada yang nggak bisa lanjut. Kayak gue. Mending juga kerja.”

Ketika Gladiola mengucapkan kata kerja, Kania merasa dadanya berdenyut nyeri. Sejak kecil mereka selalu bersama. Kini, dunia menuju dewasa perlahan akan memisahkan mereka. Jika dia kuliah nanti dan Gladiola bekerja, waktu untuk berdua seperti ini bakal sangat langka. Mereka bakal sibuk dengan urusan masing-masing.  Sekarang saja, Gladiola sudah enggan menemuinya gara-gara ogah bertemu Hans. 

“Ada beasiswa, loh.” 

“Beasiswa itu buat apa? SPP? Apa gue ke kampus nggak pakai ongkos? Apa gue nggak perlu beli buku? Lo tahu benar kalau gue selama ini berusaha menghemat. Tapi, nggak ada yang jamin nasib gue setelah kuliah nanti nggak dikata-katain orang. Kemarin aja waktu ketemu Mbak Kiki gue disuruh rebonding rambut. Gue ngerasa dunia nggak adil buat orang berambut keriting. Gue nggak pernah menyusahkan orang, tapi, gara-gara rambut gue merana. Gue kepingin banget potong rambut sampai bondol terus ngaku cowok biar dikasih kerjaan. Jadi kuli juga gue jalanin. Asal dapet duit.” suara Gladiola terdengar lirih. Matanya bahkan kembali merah, hanya saja dia memilih menarik napas dan kembali fokus kepada hasil gambarnya.

“Rambut terus yang disalahin. Lo, tuh, cakep, Bra. Rambut lo bukan kriwil kayak sabut cuci piring warna ijo itu. Lo tahu, mahal kalau mau ngeriting rambut di salon. Lagian, yang lo ributin pikiran orang. Badan kita sendiri yang tahu. Masih aja minder terus.” Kania menyatakan pendapat dan bukannya senang, Gladiola makin menunduk lesu.

“Jangan suka bicara fitnah atau mau nyenengin hati gue doang. Kalau cantik beneran, Hans harusnya naksir gue bukan Ranti.”

“Aduh.” Kania menggaruk rambutnya sendiri. Mana mungkin standar cantik adalah harus disukai oleh Hans. jika benar begitu, dia yang bakal pusing karena hal tersebut berarti abangnya mencinta banyak wanita. 

“Dahlah. Cowok nggak cuma Hans doang. Itu yang lo gambar siapa? Cowok korea? Tuh, bisa lo nggak mikirin dia lagi.”

Mulut Kania bicara seolah dia belum pernah naksir seseorang saja dan memang benar kenyataannya seperti itu. Gladiola sendiri kalau bisa tidak bakal mau naksir lagi. Rasanya amat menyedihkan. Entah kenapa, dia seolah mendapat tripel kesengsaraan dalam hidupnya tetapi Gladiola tidak boleh menangis, mengeluh, atau mengerutu. Di telinga orang, gadis umur delapan belas seperti dirinya baru akan melek pada kejamnya realita dunia. Masalah naksir yang tak bersambut, rambut keriting yang selalu jadi bahan lelucon, serta orang tua yang pilih kasih bukanlah masalah amat berat.

"Siapa bilang gue nggak mikirin dia." balas Gladiola dengan suara rendah. Waktunya selama berhari-hari habis memikirkan setiap detil wajah mahasiswa idamannya itu. Sayangnya, dia mesti puas memandangi Hans dari kejauhan dan sebagai ganti, berpuas hati mengabadikan cinta pertamanya di dalam sebuah sketsa.

"Sudah. Jangan memble mulu, ih. Gue nggak suka lihat lo, Bra. Balik nanti ke rumah gue, ya. Abang nggak ada di rumah. Dia bilang mau nginep di rumah temennya, dekat kampus. Ada tugas. Lo bisa main sampe sore. Gue beliin bakso. Lo nggak makan, kan?"

Meski malu menjawab, Kania selalu tahu kalau Gladiola selalu menahan kalau ingin jajan. Bakwan atau gorengan adalah pengganjal perut paling murah. Dia kadang membawa sekotak bekal nasi dan mi goreng instan lalu memakannya sendirian. Kadang juga, dia minta kuah bakso Kania supaya tenggorokannya tidak seret saat mengunyah nasi yang mengeras di dalam wadah. Tak jarang dia harus berjuang dengan rasa malu karena terlihat seperti anak kurang makan dan tidak diurus oleh orang tuanya. Tapi, urat malunya sudah melayang entah ke mana saat dia sudah bersama Kania.

"Duit jajan lo abis ntar, Bra." lirih, balasan Gladiola membuat Kania tertawa.

"Alah, kalau ngomong soal abis, udah dari dulu kali. Lagian, cari di mana lagi temen imut kayak lo, si kriwil kesayanganku. Yang biar keriting, rambutnya halus dan wangi. Lo pake sampo apaan, sih? Dari dulu nggak mau kasih tahu."

"Ampas kelapa gue ambil, kasih air, saring. Campur sampo saset. Kalau lagi rajin, gue jadiin minyak. Tapi, mak gue tahu kalau kelapanya masih bagus. Seadanyalah, gue, Bra. Nggak sanggup beli sampo mahal kayak lo. Sudahlah, gue malu, ih."

Kania diam sejenak dan memperhatikan Gladiola yang kini wajahnya memerah. Dia memilih kembali membenamkan diri pada kertas gambarnya dan menolak bicara lagi supaya Kania bisa kembali ke kelas. Gladiola takut kalau guru mereka masuk dan sahabatnya bisa kena marah sehingga setelah beberapa detik, Kania akhirnya memutuskan untuk kembali ke kelasnya dan membiarkan Gladiola menikmati dunianya sendiri. Setidaknya, saat menggambar dia bisa menjadi dirinya sendiri, tidak perlu menjadi seorang gadis murung yang terlalu banyak mengalah demi menjadi anak berbakti yang pada akhirnya, malah disia-siakan oleh kedua orang tuanya sendiri.

***

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang