1 Pelangi di Langit Gladiola
Pelangi Langit Gladiola amat suka dengan kisah legenda antara Rahul Kana dan Anjeli Sharma dalam Kuch-Kuch Hota Hai. Saking sukanya, entah sudah beberapa puluh kali dia menonton dan menangis sesenggukan. Tetapi, ketika kisah hidupnya sendiri ternyata amat mirip cerita dua sekawan yang terpaksa tidak melanjutkan hubungan persahabatan mereka, dia sadar, mengapa Anjeli mesti menangis seolah-olah dunia bakal berhenti saat itu juga.
Saat itu hari terakhir sekolah. Semua orang sudah keluar dari kelas. Tetapi, hanya Gladiola yang berwajah murung, duduk di meja guru dengan memandangi nilai rapornya yang anjlok habis-habisan. Dua merah dan dia masuk rangking sepuluh terbawah.
Papa tidak bakal suka mendengarnya, begitu pula mama. Bila kembali, dia yakin, rotan tua yang disimpan di atas lemari bakal mendera betisnya tanpa ampun. Alasannya sudah jelas. Dia sudah membuat malu keluarga.
Nggak mau pulang.
Gladiola mengerjap. Matanya basah lagi. Sudah hampir dua bulan ini pekerjaan utamanya hanya menangis. Tentu saja dia melakukannya di dalam diam, saat sendirian, sewaktu dia berada di dalam kamar. Malam hari adalah waktu yang pas. Sesuai sekali saat tubuhnya sedang terasa amat penat. Di kamarnya yang sumpek dengan kipas angin tua yang lebih sering ngadat dari pada berguna, Gladiola sering merencanakan masa depannya yang dia tahu, hampir suram sejak kenyataan yang dia terima telah membawa kabur semua harapan dan cita-cita yang dia punya.
"Hans naksir Ranti, beneran? Lo nggak bohong, kan?"
Dua bulan lalu, semester lima masa SMA Gladiola yang seharusnya indah mesti tercoreng sejak dia mendengar kabar menggegarkan ini. Gegar buat diri dan otaknya, karena Kania, sobat sekaligus biang gosip, si tukang cerita, tidak merasa rugi sama sekali.
"Ya nggak, lah. Semalam gue tanya."
Waktu itu hari hujan. Gladiola sengaja mampir ke rumah Kania yang letaknya dua blok dari rumahnya sendiri di kompleks Pelita Sejahtera. Kemeja sekolahnya basah dan kini sudah nangkring di atas jemuran depan rumah sahabatnya tersebut. Dia sekarang memakai baju kaus milik Kania berwarna merah muda dan kini tengah asyik memegang secangkir besar air teh manis panas untuk menghangatkan tubuh. Teh tersebut dia buat di dapur keluarga Adam, seolah-olah dia sendiri yang punya rumah.
Mereka duduk di teras rumah, memandangi tetesan air yang jatuh lewat cucuran atap dan mendengar suara kodok nyaring minta kawin, seolah-olah deru hujan bagai orkes dangdut penyambut tamu sebelum melepas hajat dan hasrat mereka sebagai syarat beranak pinak, menelurkan kecebong di pinggir parit atau got.
Bibir Gladiola sendiri langsung melekung. Matanya sudah merah dan dia mengerjap beberapa kali.
"Nangis. Nangis. Cengeng!" Kania memajukan bibir. Setiap abangnya Hans naksir perempuan, Gladiolalah yang paling ketar-ketir. Dia bakal murung seharian atau yang paling parah, menangis hingga berhari-hari.
"Lo, kan, tahu. Kalau sudah sama Ranti, gue kalah. Kalah telak." Gladiola mengusap air mata dengan punggung tangan kiri, ingusnya sempat turun dan dia menghapusnya dengan ujung lengan baju milik Kania.
"Ih, jijiknya. Baju gue lo kasih ingus, Olaaaa." Kania menarik lengan Gladiola yang belum kelar menyusut ingus. Dia juga belum siap dengan posisinya saat itu yang masih memegang cangkir, akibatnya, begitu tangan gadis itu ditarik, kursi plastik hijau yang dia duduki bergerak-gerak dan tidak sampai dua detik, baik Gladiola, cangkir, dan kursi terjungkal hingga gadis jatuh bermandikan air teh panas yang membuat dia menjerit.
"Panas."
Gladiola bangkit, menarik separuh kaus ketika dia berteriak, mengabaikan jeritan Kania yang mencegahnya berbuat gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi di Langit Gladiola
Literatura FemininaPelangi Langit Gladiola vs Hans Bastian Adam