empat belas

11.7K 2.6K 272
                                    

Di KK ama KBM udah bab 33. Moga malem bab 34 Up. Yang ga sabar ke sana aja. Nggak perlu komen di sini, kapan up-kapan up. Ketahuan bener kalo ga ABG, baru follow eke.

***

  14 Pelangi di Langit Gladiola

Obrolan tentang foto kemudian teralih begitu saja ketika Kania lagi-lagi bertanya tentang kondisi rambut Gladiola yang menurutnya tampak jauh berbeda. Waktu Kania kembali menuduh Gladiola melakukan proses smoothing atau rebonding rambut, respon Gladiola hanyalah berupa kekehan.

“Kagaklah. Gue masih sayang duit. Ini dicatok, dikasih hairspray, doang.” jelas Gladiola yang membuat Kania mana mau percaya. Dia bahkan tanpa ragu berdiri dan menyentuh sisi rambut sahabatnya yang tampil amat apik dan rapi. Jauh berbeda dibandingkan dirinya berbulan-bulan lalu. 

“Kemarin waktu di bagian buah dan sayur, gue cuma kunciran doang. Tapi, lama-lama diajarin make up. Kata mereka, lampu supermarket, kan, terang. Minimal muka gue nggak pucat.” 

“Tapi, kayak lo habis operasi plastik aja. Masak bedakan doang bikin muka lo berubah drastis. Terus, berapa gaji SPG? Mereka nerima mahasiswa, nggak?” cecar Kania kemudian. Kalau dipikir-pikir, dia juga mau bisa berdandan. Jika Gladiola yang aslinya tomboy bisa melakukannya, dia juga bisa.

“Ah, buat apa lo cari-cari kerjaan. Kuliah yang bener, belajar sampai lulus dan jadi sarjana. Bapak emak lo juga nggak kurang-kurang, Ni. beda sama gue. Kalau bisa gue kuliah, tapi lo tahu, hidup gue rumit.”

Gladiola sempat diam sebelum akhirnya dia memilih mengaduk es teh dengan sedotan. Kalau diingat-ingat, rasanya sedih sekali. Mama masih memikirkan kuliahnya. Sayang, tawaran mama datang terlalu terlambat. Salahnya juga tidak memberi info saat yang lain sudah bersiap-siap mendaftar. Tetapi, dia juga tidak sepenuhnya patut disalahkan. Sikap orang tuanya yang membuat Gladiola bingung hendak bicara apa. Dia sadar diri, sebagai anak tukang sayur dan ojek, mustahil mama dan papa sanggup membiayai pendidikannya. Kuliah bukan hanya satu atau dua tahun dan setelahnya dia masih harus mencari kerja.

“Lo sudah nabung buat kuliah?” tanya Kania. Dia menyendokkan nasi ke mulut dan Gladiolla mengangguk.

“Gaji SPG agak lumayan dibanding yang kemarin. Gue juga sudah pisahin post buat kuliah dan keperluan gue yang lain. Terus, waktu pameran di atrium depan, ada lembaga pelatihan buka kelas. Gue sempat lihat-lihat dan kayaknya mau ikut kursus bahasa Inggris buat tiga bulan. 

Hening sejenak dan keduanya saling pandang. Gladiola sempat menjelaskan dia akan belajar saat malam. Kebetulan lembaga kursus tersebut membuka kelas malam dan selama tiga kali dalam seminggu, Gladiola bisa mengasah kemampuannya. Setidaknya, di saat teman-temannya yang lain kuliah, dia juga menimba ilmu di tempat kursus. Setelah uangnya terkumpul dan musim perkuliahan baru dimulai, dia akan mempertimbangkan lagi keputusan untuk kuliah terutama karena di supermarket ada pergantian waktu bekerja dan dia bisa memanfaatkan waktu luangnya untuk mencari ilmu di perkuliahan. 

Gladiola masih mengincar UNJR alias Universitas Negeri Jakarta Raya. Dia akan mempersiapkan otaknya juga agar bisa mengerjakan soal tes masuk. Selama tiga bulan ini, kadang dia menyempatkan diri membaca soal-soal pembahasan yang dulu dia punya. 

“Keren, Bra. Bahasa Inggris gue mah apa adanya. Mana pelajaran banyak pakai buku luar. Lo udah bener kursus dulu.” Kania lantas menghela napas setelah bicara, “Gue kayaknya mau kursus juga. Lo ambil di mana? Seenggaknya kita masih bisa sama-sama.”

Usul Kania barusan membuat Gladiola mengangkat kepala. Dia tidak terpikir dengan hal itu dan ketika Kania mengatakan untuk kursus bersama, Gladiola merasa kalau dia belum pernah sebahagia ini setelah sekian lama. Sejak kelas dua SMA mereka tidak pernah lagi satu kelas.

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang