34

11.6K 2.1K 102
                                    

34 Pelangi di Langit Gladiola

Hampir tengah malam ketika Gladiola yang rasanya baru saja terlelap mendengar suara dering telepon yang membuat jantungnya berdebar dengan kencang. Dia tahu, dari nadanya bukan papa atau mama yang mencari. Dia amat takut mendapat kabar dari mereka berdua jika hari telah larut. Sesuatu yang buruk sudah pasti terjadi. Meski begitu, dia amat bersyukur orang tuanya tidak menghubungi. Gladiola tidak tahu akan berbuat apa bila mama atau papa memberi tahu kalau salah satu di antara mereka mengalami kejadian gawat darurat.

Ada Ranti.

Setiap Gladiola mengingatkan diri supaya tidak perlu cemas karena dia masih punya adik yang menjaga orang tuanya, Gladiola langsung pesimis. Saat ini, dia tahu adiknya sudah bekerja sambilan. Seperti dirinya dulu yang menyambi jadi SPG kosmetik, Ranti melamar jadi SPG rokok. Dia sering diajak ikut event hingga lewat tengah malam dan tidak jarang ke luar kota. Kepada mama juga adiknya sering sesumbar bertemu artis A B C dan dengan kecantikan yang dia punya, Ranti selalu mendapat akses bertemu langsung dengan mereka. 

Gladiola tidak iri. Malah, dia senang adiknya bisa mencari uang. Tapi, karena itu juga, dia makin mengkhawatirkan keadaan orang tuanya. Kembali ke rumah mereka jelas tidak mungkin. Gladiola tidak mau lagi tertekan. Dia juga amat mencintai hidupnya yang sekarang dan istilah dari jauh bau wangi dan dari dekat bau kotoran kucing, sudah membuatnya selalu waspada. Mama mulai menyayanginya saat dia jarang pulang dan itu sudah sangat berarti karena dia tahu, kehadirannya dirindukan.

Ponselnya masih berdering dan Gladiola pada akhirnya mau tidak mau bergerak dari posisinya dan mulai meraih benda yang tidak berhenti berbunyi itu kemudian menggeser tombol tolak. Namun, tidak sampai sepuluh detik, nomor yang sama kembali memanggil.

“Astaghfirullah.” Gladiola mengeluh.

“Ini tengah malam.” rutuk wanita itu begitu tombol jawab dia aktifkan. Hans sudah sangat kelewatan. Kelakuannya sudah melebihi perbuatan papa. Ridho saja tidak pernah menelepon pada jam segini. 

“Mereka nemu jejak Nia. Dia kabur ke Palembang. Katanya, Nia mau kawin lari.”

Mata Gladiola yang tadinya setengah mengantuk, mendadak terbuka. Dia bahkan memastikan kalau yang sedang bicara adalah Hans. Ternyata memang benar itu dia. Tetapi, sungguh aneh karena Hans bahkan tidak membahas ulahnya barusan yang jelas-jelas mengganggu Gladiola.

“Ini tengah malam, tahu?.” Gladiola mengulangi lagi kata-katanya. Dia masih agak jengkel. Tapi, sejak kapan, sih, Hans peduli kepadanya, pada perasaannya? Mengganggu Gladiola saat tengah malam saja dia tidak merasa bersalah. 

“Iya. gue tahu.” suara Hans terdengar santai dan sedikit antusias, “Dengar, kalau lo nggak sibuk, besok ikut gue. Kita ke Palembang.”

“Enak aja lo nyuruh-nyuruh gue.” Gladiola naik pitam. Kenapa si Hans sinting itu malah meminta Gladiola pergi bersamanya? Orang tua pria itu masih hidup dan sehat. Jika ingin menemui putri mereka, maka papa dan mama Hans yang lebih berhak. 

“Kalau lo nggak sibuk, La.” suara Hans menekankan karena dia tahu di seberang sana Gladiola terdengar seperti hendak memotong kepalanya.

“Gue sibuk. Kalau Nia mau kawin, ya, kawin aja.” 

Gladiola amat menyayangi Kania lebih dari dirinya sendiri. Tetapi, Hans telah melewati batas. Pria itu sudah terlalu sok tahu dan menganggap Gladiola mudah luluh di bawah perintahnya. Padahal, urusan pernikahan Kania adalah urusan intern keluarga mereka dan Gladiola yang dari awal sudah kadung kesal kepada pria itu memilih menolak mentah-mentah permintaan Hans.

“Bukan gitu. Lo dengar dulu, jangan marah-marah, La. karena lo sahabat Nia makanya gue nawarin ini.”

“Lo kalau nawarin orang juga mikir, “ Gladiola memotong. Dia berusaha tidak marah, tapi kesabarannya menghadapi Hans tidak pernah banyak, “Mau ngajak orang sampai ganggu waktu istirahat. Ini tengah malam, loh. Besok gue mesti bangun pagi.”

“Ola. Maaf kalau gue selalu bikin lo kesel, bikin lo dongkol, dan cuma bisa ganggu waktu istirahat lo. Bener, gue minta maaf. Tapi, ini soal Nia. gue nggak bisa berpikir apa-apa lagi kecuali nama lo yang pertama kali terlintas waktu tahu dia bakal berbuat nekat kayak gitu.” 

Suara Hans terdengar amat lembut dan Gladiola bisa mengenali nada bersalah dari sana. Hans hampir tidak pernah bicara seperti ini sebelumnya, tetapi, dia ingat ada momen-momen di masa lalu mereka di mana pria itu mendekatinya hanya untuk meminta maaf. 

Tapi, kalau berharap dia bakal mudah luluh maka Hans salah besar. Sudah bertahun-tahun lewat dan banyak hal telah terjadi. Dia bukan Gladiola yang sama lagi. Jika ada banyak cerita yang dimulai dengan pasangan saling benci atau salah satunya bertepuk sebelah tangan dan berakhir dengan saling jatuh cinta, tapi Gladiola amat tahu, dia bukanlah bagian dari itu semua. Dia memang pemaaf, tapi naksir lagi dengan Hans? Ih, amit-amit. 

“Yang bener, lo laporan ama orang tua kalian. Berembuk, kek, rapat, kek. Kalau perlu seluruh sanak keluarga yang dekat. Gue bukan bagian keluarga kalian, nggak berhak ikut campur.”  

Gladiola menguap satu kali. Di satu sisi dia senang karena Hans masih menganggap dia bagian keluarga. Tetapi, di sisi lain, jawaban Hans tadi membuatnya bergidik. Entah apa yang sedang bercokol  di kepala Hans hingga bisa-bisanya dia menyebutkan kalau Gladiola adalah hal pertama yang terlintas di dalam pikirannya dibandingkan dengan keluarganya yang lain.

Kan ngeri, pikir Gladiola, berusaha tidak berprasangka yang aneh-aneh, tapi sulit. Hans selalu berhasil membuatnya berpikir jahat tentang pria itu walau sebenarnya, sikap dan tindakan yang Hans lakukan tidak lagi seperti dulu. 

“Betul.” suara Hans terdengar lagi. Kali ini disertai tawa tipis yang membuat Gladiola ingat dia bicara dengan abang sahabatnya itu. Setelahnya, mereka tidak lagi saling bicara basa-basi. Gladiola teramat ngantuk dan lelah dan Hans mulai tahu diri. Dia sempat mengucapkan terima kasih dan bakal berkabar bila nanti menemukan Kania yang dijawab oleh Gladiola dengan sebuah gumam pendek sebelum akhirnya wanita muda itu melemparkan ponselnya ke bawah bantal dan kembali berbaring.

Nanti, pagi-pagi sekali dia akan menelepon Kania dan meminta sahabat gilanya itu menjelaskan dengan detil tentang ulah nekatnya yang membuat Gladiola seperti seorang penghutang yang dikejar-kejar oleh debt collector tampan yang tanpa henti  .

Tentu saja, dia tidak peduli dengan ketampanan pria sinting itu. Toh, hanya orang yang tidak waras saja yang berpikir kalau wanita yang punya kekasih bisa diajak jalan-jalan berdua. Tadi sore saja, dengan alasan Kania, Hans meminta Gladiola pergi bersamanya dan barusan, meminta Gladiola untuk ikut bersamanya, ke mana dia bilang tadi? Palembang?

Cih. dia tidak akan sudi sama sekali. Kania cukup dia telepon. Toh, ponsel sahabatnya itu aktif dan Gladiola sadar, Kania tidak memblokir nomornya seperti yang dilakukan Kania kepada keluarganya. Gladiola juga sudah menghubungi temannya itu, tetapi balasan Kania adalah dia akan bicara dan muncul di hadapan Gladiola bila waktunya sudah tepat. Seperti hal yang telah terjadi kepadanya bertahun-tahun lalu, dia menghormati keputusan Kania untuk bersembunyi. Dia tidak akan mengkhianati sahabatnya dan lebih suka terlihat tidak tahu di mata Hans karena dia paham sekali, jika mulutnya sampai bocor atau kelepasan bicara, Kania bakal membencinya seumur hidup.

Dan daripada berada di pihak Hans, dia lebih memilih bersumpah setia di pihak Kania Adam.

***

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang