dua

16.4K 2.8K 167
                                    

2 Pelangi di Langit Gladiola

Lucu dah panggilannya Ola ama Hans, jadinya Olahans ekekkekek. Adeknya Hans, Kania Bella jadi Kabel. Adeknya Ola jadinya Ranting yang kalo dibaca, Olahan Kabel Ranting.

Gini amat eke bikin nama, wakakakakak.

***

Berhasil kabur dari Hans bukannya membuat perasaan Gladiola senang melainkan menjadi makin nelangsa. Sepanjang waktu di warung manisan tempatnya sekarang duduk sambil menunggu minuman rasa cokelat kesukaannya, dia merasa amat sedih. Bagaimana tidak, dia jadi terpikir dengan kado macam apa yang bakal pemuda itu beri kepada saudarinya. Apakah boneka? Kosmetik? Atau yang lain? Dia tidak bisa mendapatkan jawaban dan setelah bermenit-menit bengong, Gladiola memarahi dirinya sendiri.

“Harusnya gue ikut tadi supaya bisa nyuruh Hans beliin kado jelek buat Ranti. Kalau adek gue nggak setuju, mereka, kan, jadi berantem.” Gladiola lalu menyeruput air es rasa cokelat tersebut tetapi wajahnya masih murung dan bahunya turun.

Terus Hans ember bocor itu cerita kalau gue biang keroknya. Ranti bakal nangis, mengadu sama mama dan gue bakal dimarah-marahin lagi.

“Bi, udah bayar, ya.” Gladiola berdiri dan hendak pamit pada pemilik warung langganannya. Dia melangkah menjauhi warung dan menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berdoa, semoga kemarahan papa yang tidak mau mengerti kesusahannya sebagai anak paling bodoh di kelas, tidak bakal menyakiti hatinya lagi seperti yang sudah-sudah.

“Ti ati, Neng.”

Gladiola mengucapkan terima kasih dan mempercepat langkah kakinya. Meski perasaannya tidak karuan, hatinya masih retak akibat perlakuan Hans tadi dan saat ini dia sedang cemas akan hukuman yang bakal diterimanya sepulang nanti, Gladiola terus saja merapal doa kalau dia bakal baik-baik saja dan setelah semua siksaan itu, dia bakal menyeduh teh manis dan menuangkan banyak es batu ke dalam gelas lalu mendinginkan tubuhnya yang sudah pasti mendidih karena bakal diomeli berjam-jam.

Tiga puluh menit kemudian Gladiola tiba di rumah. Seperti Kania, keluarga mereka juga tinggal di kompleks yang sama. Bedanya, keluarga Gladiola tidak seberuntung keluarga mereka. Dulu, papa yang seorang sales penjualan terkenal, harus menyerah ketika alasan ekonomi sulit mendera perusahaan. Dia ingat masih duduk di kelas lima ketika papa pulang dengan wajah murung dan mama yang mulanya memiliki banyak perhiasan harus merelakan hartanya menjadi warung manisan di depan rumah dan setelah bertahun-tahun, warung manisan tersebut menjadi warung sayur dan depot air isi ulang yang membuat Gladiola merasa masa remajanya yang indah terenggut drastis karena dia mau tidak mau harus bertanggung jawab juga untuk meringankan beban orang tuanya. 

Meski begitu, dia kadang merasa kehidupan tidak adil kepadanya. Pulang sekolah, dia harus menjaga warung sementara kedua orang tuanya tidur siang. Mereka sudah keluar belanja sayur sekitar pukul tiga subuh dan saat Gladiola kembali dari sekolah, dia sudah mesti menggantikan tugas mereka.

Ranti? Si cantik jelita itu tidak pernah di rumah. Ranti selalu mampir ke tempat sahabatnya entah buat nongkrong, karaoke, main bilyar, atau apalah. Gladiola tidak pernah kepo dan pergaulan adiknya selalu bersama teman-teman yang merupakan siswa berduit. Mereka semua senang kepada adik kandung Gladiola tersebut karena wajahnya amat cantik.

Mama bahkan tidak pernah menyuruh Ranti memegang sapu atau membereskan tempat tidurnya. Lain hal dengan Gladiola. Dia bakal diomeli setiap melihat dapur berantakan dan lantai rumah penuh debu.

“Mana ada cowok yang mau jadi laki lo, malesnya ampun-ampunan.”

Gladiola lebih suka diam. Jika menyahut dia bakal makin diomeli. Kalau sudah begitu, dia kemudian melihat kondisi. Jika suasana hatinya sedang tidak baik, dia biasanya memilih minggat ke rumah nenek yang letaknya tidak jauh dari SMANSA. Tapi, sebelum  itu, Gladiola selalu mengumpulkan uang saku supaya dia bisa bertahan hidup. Bila dia bertengkar dengan mama atau memilih minggat, konsekuensinya cuma satu, Gladiola tidak bakal dapat uang harian seperti yang biasa dia terima setiap pagi.

Tapi dia punya pekerjaan sampingan yang membuatnya merasa cukup kaya walau tidak sekaya Kania yang punya uang saku tiga ratus ribu seminggu. Untuk hitungan tahun dua ribu lima belas, uang saku segitu untuk anak SMA terbilang amat besar. Gladiola sendiri cukup puas dengan jatah harian sepuluh ribu dari mama. Itu juga dia berhemat dengan jalan kaki dari rumah ke sekolah dan kadang, dia tidak jajan supaya di akhir minggu bisa terkumpul bila nanti dia minggat ke rumah nenek. 

Tapi, sejak hari ini, dia mesti bersabar. Sumber keuangannya dipastikan kering kerontang selama dua minggu. Tetapi, Gladiola tidak sedih. Toh, di samping itu, sudah ada hal lain yang membuat kesedihan-kesedihan kecil di hatinya menguap. Kemarahan papa begitu melihat nilai rapornya amblas, hukuman tidak boleh menonton TV selama satu minggu karena TV kemudian disimpan papa di dalam lemari, atau rasa sebal karena merah Ranti jauh lebih banyak tetapi dia tetap diperbolehkan main dan nongkrong, tidak ada bandingannya sama sekali saat tahu kalau Hans ternyata sudah menyatakan perasaan kepada adiknya.

"Bengong terus. Itu galon kosong diisi." bentak mama saat Gladiola mengangkat kepalanya dari buku pelajaran yang dia pegang dari tadi. Padahal saat itu hari Minggu dan baru kemarin dia bagi rapor, tetapi, dia sudah harus kembali memandangi isi bab pertama semester dua karena papa menyuruhnya demikian. Dia sendiri duduk di bangku kayu di dalam warung bertemankan buku dan juga pensil mekanik kesayangan yang kadang dia gunakan untuk latihan membuat sketsa kalau kepalanya sudah jenuh.

“Baru selesai cuci galon, Ma. Baju Mbak basah.”

Dia buka orang Jawa, tetapi nenek mengaku kalau ada keturunan dari Surabaya. Karena itu, sejak kecil nenek memanggilnya Mbak Ola.tapi, meskipun dia adalah anak pertama sekaligus cucu pertama, dia tidak merasakan kebanggaan dan kesenangan seperti itu. Nenek mungkin sayang kepadanya. Tetapi kadang-kadang dia berpikir, nenek tidak punya pilihan lain selain menampung cucunya yang jelek itu. Kadang Gladiola berpikir, wajah dan rambutnya adalah salah satu penyebab dia tidak pernah dicari kedua orang tuanya bila minggat ke rumah nenek.

“Alasan aja. Sono kerja. Mama ngantuk capek nyari duit buat lo, lo sendiri nggak tahu diri, ngabis-ngabisin duit ongkang-ongkang kaki.” Mama mulai merepet ketika dia memasukkan sisa ikan laut serta ayam yang tidak habis ke kulkas di dalam warung. Gladiola sudah memasukkan tahu dan tempe beberapa saat lalu supaya tidak rusak. Tetapi, nampaknya mama tidak tahu dia sudah melakukan semua itu. Lagipula kenapa selalu dia yang kena marah? Ranti yang lebih goblok tidak pernah kena sembur dan sekarang dia menghilang entah ke mana, pikir Gladiola. Kemarin, dia melihat mama dan adiknya pergi bersama dan ketika pulang, Gladiola melihat sepasang sepatu setinggi lutut yang kemudian dia tahu sebagai “sepatu show”. Mama rupanya telah mendaftarkan si bungsu untuk ikut lomba modelling di hotel bintang satu dekat rumah

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang