Banyakin komen. Di Karyakarsa dan KBM udah bab 42.
***
17 Pelangi di Langit Gladiola
Ulang tahun putri bungsu keluarga Adam rupa-rupanya bukan sekedar ulang tahun biasa meski pada saat itu Kania berusia sembilan belas yang seharusnya kalah heboh dibanding ulang tahun ke tujuh belas. Karena dia Kania Adam dan angka berapa saja bukanlah sebuah hal yang mesti dipusingkan melainkan karena momen seremonial yang membuatnya patut dikenang, maka di hari Minggu pagi, Gladiola sudah datang.
Dia tidak datang sendiri. Itulah yang membuat biji mata Kania yang menyambutnya di depan pagar agak sedikit melotot. Tapi, tidak hanya dia. Hans yang sedianya sedang mengangkat bangku dari ruang tamu sampai berhenti demi mencari tahu siapa sosok berjaket kulit dan berhelm full face yang membuat mereka semua jadi amat penasaran. Tambahan lagi, Gladiola yang saat itu mengepang rambut dan membuatnya menjadi dua buah cepol manis di belakang telinga tertawa dengan amat lebar dan tanpa ragu menggetok helm lawan bicaranya sehingga membuat Kania yang tiba-tiba saja berdiri di samping Hans, menyipitkan mata.
“Dih, siapa itu? Pacarnya? Buset, dah. Gerak cepat banget dia.”
Kania sebenarnya tidak meminta jawaban. Tetapi, Hans yang masih tidak melepaskan pandang ke arah depan pagar memberi jawaban, “Bukan.”
Kania mendengus sebelum akhirnya menoleh kepada Hans, lalu bicara, “Yang benar bukan pacar? Kok, lo tahu?”
Hans yang sadar kalau saat ini adiknya sedang mengamati, kemudian nyengir dan buru-buru berjalan menuju pekarangan. Beberapa kursi tamu sudah berada di sana. Dia yang mengangkutnya sejak tadi.
“Assalamualaikum.”
Suara renyah yang keluar dari bibir Gladiola terdengar. Sosok pengantarnya sudah berlalu dan dia kemudian masuk ke pekarangan keluarga Adam yang pagarnya terbuka lebar. Di tangannya terdapat dua kantong kertas berukuran besar. Dia sendiri memakai tas ransel kanvas berwarna hitam. Penampilannya amat kasual. Hanya T-shirt kuning mustard yang sebelum ini pernah dilihat Hans saat kursus, jin slim fit warna biru pudar dan juga sneaker putih. Penampilannya amat sederhana sebenarnya. Bahkan, dulu dia amat sering mengenakan model pakaian yang sama walau kebanyakan warisan dari Bi Della. Yang namanya barang warisan tentu saja ukurannya tidak bisa sesuai dengan yang dia inginkan. Sekarang, setelah bekerja dan bisa mendapatkan uang sendiri, Gladiola bebas membeli pakaian yang dia mau dan yang saat ini dia pakai adalah model yang cukup dia sukai.
“Waalaikumsalam. Tumben datang pagi.” Kania yang masih bersedekap akhirnya berjalan ke arah Gladiola dan sebelum dia sampai, tangan Gladiola yang memegang kantong kertas berwarna cokelat sudah terulur kepadanya. Nampak sebuah kotak persegi yang sudah dibungkus dengan kertas minyak berwarna merah mengkilap. Seketika, senyum di bibir Kania merekah.
“Wuih, beneran dikasih kado? Ini apa? Lipstik reject? Bedak? Atau apa, nih?”
Suara mahasiswa sembilan belas tahun itu terdengar amat ceria dan antusias. Dia sudah diberitahu minggu sebelumnya tentang kemungkinan Gladiola bakal memberinya beberapa kosmetik. Tetapi, Gladiola tidak setega itu. Umur sembilan belas hanya terjadi satu kali dan perayaan seperti ini sudah pasti amat ditunggu oleh sahabatnya. Lagipula, Gladiola tahu benar selera sahabatnya dan dia sudah mempersiapkan yang terbaik di hari istimewa perempuan yang tidak pernah memandangnya sebagai makhluk menjijikkan.
“Iya, sepaket.” Gladiola membalas asal. Senyumnya mengembang dan dia yakin, Kania bakal kaget jika tahu. Tapi, mereka saat ini berdiri sambil dipandangi oleh Hans yang sepertinya lupa dengan tugasnya mengangkat bangku dan kursi dari dalam rumah. Matanya mengamati Gladiola seperti elang siap memangsa buruannya dan Gladiola merasa masa bodoh dengan sikap mantan gebetannya itu. Apakah Hans ingin diberi bedak atau lipstik reject juga? Kalau iya, Gladiola hendak tertawa. Putus dari Ranti ternyata telah membuat otaknya jadi tidak beres.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi di Langit Gladiola
ChickLitPelangi Langit Gladiola vs Hans Bastian Adam