Udah bab 16 di Karyakarsa dan KBM app
***
Dua hari sebelum masuk sekolah alias hari Sabtu sore, rumah orang tua Gladiola tampak lebih ramai dibanding hari biasa. Tetapi, bukan pengunjung yang berbelanja yang datang melainkan teman-teman Ranti yang sengaja diundang di perayaan ulang tahunnya yang ke enam belas. Gladiola sendiri yang merasa tidak ada urusan dengan perayaan tersebut memilih duduk menjaga warung manisan mama dengan pandangan menerawang. Dia bisa mendengar alunan musik house yang membuat gadis itu mengerenyit.
Gladiola kurang suka mendengar musik dugem tetapi papa kadang kala menyetel lagu tersebut menggunakan pengeras suara yang uangnya dia dapat dari hasil memenangkan togel tiga angka beberapa tahun lalu. Kata mama, uang papa sebaiknya “dilekatkan” dengan barang dan kemudian orang tuanya sepakat membeli seperangkat pengeras suara yang kemudian menjadi alat menghibur paling digemari oleh keluarganya. Gladiola sendiri pernah beberapa kali mencoba menyanyi tetapi dia sadar diri dan diam adalah solusi yang paling baik daripada dia merusak indra pendengaran tetangga dengan suaranya yang memang tidak seberapa itu.
Beberapa anak remaja berlari ke luar pekarangan rumah hingga ke tengah jalan di depan warung sambil membawa sebuah balon dan Gladiola memandanginya malas dari balik rentengan berbagai macam serbuk minuman ringan berharga seribuan. Gladiola kenal remaja lelaki itu. Salah satu anak pejabat kampung, entah anak Pak RW 10 atau RW 05. Ibunya menjual menu sarapan pagi dan cukup laris. Ranti yang suka sekali membeli nasi uduk tiap pagi di tempatnya kemudian suka dijodoh-jodohkan dengan sang anak. Setelah Hans, anak Pak RW, entah siapa lagi yang bakal kecantol pesona adik kandungnya.
Suara hiruk pikuk terdengar lagi dari dalam dan alunan lagu baru terdengar lagi. Sepertinya MC sudah menyebut-nyebut tentang permainan baru dan remaja-remaja yang tadi di luar, mendadak masuk rumah lagi dengan semangat.
"Yok, sama pasangan, joget balon."
Gladiola menahan napas dan mengingat kekesalannya pagi tadi. Dia merasa dirinya juga bagian dari keluarga. Jadi, setelah bangun, Gladiola langsung mandi dan mencoba mencari kemeja terbaiknya yang dia beli lebaran lalu. Anehnya, ketika dia ke luar, mama masih di warung dan menggelar dagangannya sementara di ruang tengah dan teras sudah didekorasi dengan balon dan pernak-pernik ulang tahun.
"Bukannya mau ada acara. Mama masih jualan?" tanya Gladiola sopan. Dia sudah memakai kemeja bagus berwarna peach dengan logo bordir kelinci di saku depan dekat dada. Menurut Kania bajunya norak. Tapi, buat Gladiola, merupakan sebuah prestasi dia bisa membeli kemeja di departemen store dengan harga tiga puluh lima ribu dan masih sangat baru.
"La, fungsi lo buat apa kalau gitu?"
Dia sempat diam dan mencerna kata-kata ibunya dan ketika sadar, dia akhirnya kembali ke kamar, melepas kemeja terbaiknya tersebut lalu menggantinya dengan kaos oblong lusuh warisan Bi Dela dan sebuah kolor selutut yang membuatnya merasa memang dia sepantasnya jadi bibi penjaga warung sayur dibandingkan dengan saudarinya.
"Oi, tiup lilin bentar lagi. Lo nggak ikut?"
Suara Hans membuat Gladiola yang kini sedang mengarsir wajah "Ko Edward" mengangkat kepala. Pemuda itu berdiri dan menyandarkan kedua tangan di atas lemari kaca warung dan dia leluasa memperhatikan Gladiola yang tidak kelihatan seperti seorang kakak perempuan dari gadis yang saat ini sedang merayakan pesta ulang tahunnya.
"Nggak." balas Gladiola pendek. Dia memilih untuk meniup serbuk pensil yang menempel di permukaan kertas gambar daripada melihat wajah Hans. Hatinya sudah lebih dulu sakit saat melihatnya datang dan membawa sebuket bunga dan buket uang lima ribuan yang Gladiola tebak berjumlah sekitar seratus hingga dua ratus ribu. Dia tidak tahu dengan akurat. Yang pasti, wajah Ranti langsung semringah begitu melihat lembaran rupiah tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi di Langit Gladiola
ChickLitPelangi Langit Gladiola vs Hans Bastian Adam