68

8.6K 2.1K 652
                                    

Udah 68 bab. Gratis ini loh.

Ga bayar.

Tapi sedihnya, kebanyakan cuma baca doang. Ga mau komen sama vote, padahal itu upah dari kalian buat eke yang dah capek2 nulis. Bandingin sama yang dah bayar di KK dan KBM.

Ada lagi, ini yang paling parah dan bikin eke muak upload di WP dan mikir mending semua work pindah ke pf berbayar, biar kapok semua, yang nggak punya malu ngemis-ngemis di mana-mana, minta ebook, PDF. Najis banget.
Jangan karena kalian modal beli pdf, terus bisa share gratis. Apalagi yang dapat gratis, bagi2 juga tanpa izin penulis.

Biarlah, langit bumi bersaksi, eke juga, nanti kalian mati merana sudah bajak membajak itu.

Penyebar PDF eke kuburannya dipenuhi tahi kotok dan yang minta-minta itu juga, lubang idungnya dimasukin kadal.

Bodo amat dibilang sadis.

Untung ga eke maki-maki penghuni kebun binatang.

***

75 Pelangi di Langit Gladiola

  Mobil yang dinaiki oleh Gladiola dan Hans sudah berjalan keluar dari parkiran tidak lama setelah insiden menyebalkan yang membuat Gladiola terus mengoceh minta diturunkan. Hans, mana mau menurut. Justru menurutnya amat bagus mobil dalam kondisi berjalan. Karena jika tidak, sudah pasti Gladiola bakal melepas sabuk pengaman dan meloncat ke luar tanpa ba bi bu lagi.

“Lo dengar, nggak, sih?’ Gladiola mengoceh lagi. Kedua tangannya sudah terkepal dan dia masih sangat dongkol Hans telah melakukan hal gila tadi di parkiran. Entah apa yang saat itu bertengger di dalam otak Hans, Gladiola tidak paham. Ingin rasanya dia mencekik leher abang sahabatnya itu karena telah berani berbuat lancang. 

“Dengar.” balas Hans. Nada suaranya terdengar riang. Tetapi, karena tetangga di sebelah saat ini sedang kesal, Hans mengubah suaranya jadi sedikit sopan.

“Tapi, kita sudah di jalan. Nggak bisa berhenti.” 

Sialan! Gladiola memaki di dalam hati. Pipinya saat ini masih merah. Perpaduan antara kesal, marah, malu, dan juga ternoda. Tapi, anehnya, air mata yang tadi sempat menggenang di pelupuk matanya malah mengering tanpa sisa.  

Bibirnya bahkan masih panas. Gladiola ingat dengan jelas apa yang terjadi saat Hans bukannya menjawab pertanyaannya melainkan langsung nekat. Padahal tadi dia bilang amit-amit, kan? Kenapa pada akhirnya bibirnya yang tidak bersalah yang jadi korban?

“Bodoh amat. Lo berhenti sekarang juga, kalau nggak … “ ucapan Gladiola terhenti karena dari belakang sebuah truk mengklakson dengan suara amat keras sehingga dia langsung terdiam. Sumpah, bila bakal seperti ini, dia lebih memilih untuk tidak ikut saja ketika Hans menyeretnya. 

“Banyak truk.” Hans menunjuk ke arah jalan, “Kalau turun sembarangan, ntar malah diajak mereka.”

“Yang penting sampai hotel daripada gue mesti satu mobil sama lo.” Gladiola mendengus kesal. Rasanya dia ingin memuntahkan segala kemarahan, tapi, mengingat ini di jalan raya, dia menghentikan niatnya. 

“Truk nggak lewat kota. Paling banter lo dibawa ke hutan terus diapa-apain sama supirnya. Mending sama gue.” Hans menoleh ke arah Gladiola. Dia mencoba tersenyum walau saat ini sebelah pipinya masih merah.

“Lo jangan banyak bacot. Kalau kita nggak di mobil, udah gue bejek-bejek muka lo. Gue benci banget, tahu, nggak?” Gladiola memajukan tubuh dan menunjukkan tangan kanannya yang terkepal. Sebagai bukti kalau dia serius dengan ucapannya saat ini.

“Kalau gue, sayang banget sama lo. Malah, kayaknya gue jatuh cinta, deh. Makanya tadi nekat cium lo saking gue nggak ngerti lagi mesti gimana. Semua kode dari gue, lo nggak ngerti.”

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang