37

9K 1.7K 114
                                    

Gaes, share ke segala penjuru ya, cerita ini. Follow juga IG eke. Eriska Helmi. Biar rame aja ghibah di sana.

Hari ini di KK ama KBM boom apdet 3 bab dan ada sopiler bab Bali yang bikin emak-emak gaduh. Apaan, tuh, Bah Bali? Bakal tayang di sini, kaga?

Ya kagaaa😂😂

Pake nanya lagi. Baca yang ada aja yes.

***

37 Pelangi di Langit Gladiola

Belum pernah Gladiola merasa jengkel seperti yang dia rasakan saat ini. Dia bahkan merencanakan untuk pura-pura tidur sepanjang perjalanan yang membutuhkan waktu tempuh sekitar satu jam. Akan tetapi, dia kemudian menertawakan keputusan bodohnya tersebut. Untuk apa dia tiba-tiba marah? Bukankah yang menyuruhnya ke Palembang adalah bos? Yang patut dipertanyakan adalah Hans sendiri. Mengapa tiba-tiba pria itu bisa muncul dan tahu-tahu duduk di sebelahnya?

Tapi, dia sama sekali tidak bisa membohongi diri begitu wajahnya terlihat kusut sewaktu Hans menyebutkan namanya. Dari sekian banyak tempat duduk di pesawat, bisa-bisanya Hans jadi tetangganya. Amat aneh dan tidak masuk akal sehingga dia sempat berpikiran buruk, ada oknum di kantor yang punya akses untuk membocorkan keberangkatannya kepada pria tersebut.

Hanya saja, sekali lagi dia mempertanyakan kevalidan pikirannya itu. F-Beauty Network tempatnya bekerja bukanlah tempat yang punya asosiasi dengan Hans. Sudah tiga tahun dia bekerja di sana dan kenal semua pegawainya. Karena itu juga, dia bersyukur tidak langsung marah-marah dan menuduh sembarangan.

Dia cuma merasa aneh saja karena Hans baru berangkat hari ini sedang dari kemarin malam pria itu meneleponnya. Ah, entah kemarin, entah dua hari yang lalu, Gladiola merasa otaknya kacau saat berhitung tentang waktu. Menurutnya, jika tahu posisi Kania, Hans seharusnya berangkat sesegera mungkin. Hal inilah yang membuatnya tidak bisa berpikir positif dan susah untuk tidak menganggap Hans telah menyabotase keberangkatannya ke Palembang.

Tapi, sekali lagi, hampir selama lima atau enam tahun ini dia tidak pernah berpikir positif terhadap abang sahabatnya itu dan entah kenapa, Gladiola merasa dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Semesta sepertinya amat suka mempermainkan dirinya dan tidak membiarkan hidupnya tenang jauh dari Hans sekuat apa pun dia mencoba.

"Bibir maju terus dari tadi padahal cuaca lagi oke, loh."

Gladiola mengangkat wajahnya dari depan majalah. Ditolehnya Hans yang kini menunjuk ke arah jendela yang berada di samping kiri Gladiola. Memang cuaca sedang cerah. Awan saja terlihat biru dan sebetulnya, hembusan pendingin udara di atas kepalanya sudah mulai membuat mata Gladiola kriyep-kriyep. Tapi, jika sekarang memilih tidur, ketahuan sekali kalau dia memang berusaha menghindari Hans seperti yang selalu dilakukannya selama ini.

"Terus, lo suruh gue loncat keluar, gitu?"

Dia tidak bermaksud berkata demikian, tetapi, semua yang berkaitan dengan Hans membuatnya cepat sekali emosi. Hans sendiri malah tertawa dan nadanya terdengar amat renyah. Entah sejak kapan dia berubah jadi seramah ini, Gladiola tidak mau ingat. Tapi dia tahu, sejak dia minggat dari rumah dan bekerja di supermarket, Hans tidak lagi banyak mengata-ngatainya. Bahkan, jauh lebih bersahabat dibanding saat dia tinggal bersama keluarganya dulu.

"Elah, La. Pedes amat omongan lo. Gue lagi nyari topik biar bisa ngomong doang, lo balas ketus. Kayak kita musuh bebuyutan aja. Padahal gue udah senang banget pas lihat lo di depan pintu masuk terminal tadi. Lo tulus sama Kania sampai mau ke Palembang cariin dia."

"Idih. GR" Gladiola langsung membalas, "Tugas kantor, kali. Lo yang aneh, tahu-tahu duduk di sebelah gue. Sabotase tiket, ya?"

Hans terdengar beristighfar sebelum membalas. Hampir saja Gladiola membuang muka dan menoleh ke arah jendela saat pria itu kemudian membalas, "Gue nggak bisa langsung berangkat kemarin waktu telepon lo Kania kemungkinan ada di Palembang. Lo tahu gue juga kerja, mesti ngurus cuti. Mama dan Papa nggak bisa ikut. Lo tahu, kan, kalau Mama lagi sakit gara-gara mikirin Nia. Udah gue usahakan secepatnya berangkat dan setelah gawean gue kelar, baru sekarang bisa berangkat. Sejak lo ngomel-ngomel di telepon, gue nggak berani lagi ngajak. Tapi yang namanya jodoh ..."

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang