64

7.3K 1.5K 364
                                    

Udah 60 bab lebih. Masih ada aja yg males komen.

Eke gigit nih atu-atu.

Di KK udah tamat. Siapin duit tabungan yes. Halaman sebelum revisi 911. Biasanya mentok2 ke 700 sekian. Kalo lebih, terpaksa jadi 2 buku daripada ambrol. Tapi, nanti kang LO aja dah yang atur. Kalian mo jadi 2 buku atau 1 buku?

PO bareng Neng Hana sama Gendhis.

BTW tulung mampir dan ramein work baru eke. Udah prolog. Vibesnya kayak Atu, dah. Ciyus. Kaga sedih.

Bacak ama komen yang banyak, yaaaak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bacak ama komen yang banyak, yaaaak.

Betewe follow sosmed eke dung. Eriskahelmi. Sepi amad. Terus ama yang bae-bae n ada akun di KBM app, sukreb work itu, yes. Masih seiprit jamaahnya.

Tinkyu

***

67 Pelangi di Langit Gladiola

Hampir pukul delapan lewat tiga puluh malam sewaktu Hans menghentikan SUV miliknya yang berwarna hitam tepat di depan rumah kontrakan Gladiola. Rumah itu tidak terlalu besar, hanya bertipe 36 dengan nuansa minimalis. Hanya saja, karena tinggal sendiri, Gladiola amat menyukai rumah itu dan sudah menganggap rumahnya sendiri. Dia juga hampir tiga tahun tinggal di sana dan Hans juga salah satu yang membantu Gladiola pindah selain adiknya Kania, sebelum wanita itu berkencan dengan Ridho. 

"Sudah sampai." Hans menoleh kepada Gladiola. Dia menyunggingkan sebuah senyum lebar yang membuat lawan bicaranya menaikkan alis.

"Harusnya janjian sama Nia, eh, jadinya kita malah pergi sampai malam begini." Hans segera bicara karena melihat wajah judes Gladiola yang merasa curiga dengan gelagatnya tersebut.

"Mau gimana lagi. Yang penting dia senang sudah diterima. Gue sebagai teman juga bahagia kalau dia bisa senyum lagi." Gladiola menjawab pendek. Dia ingin keluar, namun, Hans masih hendak melanjutkan. Di depan pagar rumah Gladiola nampak sepi. Wajar saja, dia tinggal di kompleks perumahan. Tetangganya juga sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Meski begitu, tidak jauh dari rumahnya, ada sebuah toko kelontong yang selalu ramai. Kadang, di toko itu banyak ibu rumah tangga yang mengobrol sambil mengajak anak mereka bermain.  Sayangnya, malam ini nampaknya semua orang lebih memilih berada di rumah. 

Iya. Oh, iya, jangan lupa minum pakai tumbler dari gue tadi. Sudah lo bawa, kan?" tanya Hans dan Gladiola menunjukkan sebuah kantong kertas berwarna kuning berisi belanjaan pemberian Hans tadi. Isinya tidak hanya tumbler. Ada beberapa botol minuman ringan dan susu. Gladiola juga sempat terkejut karena Hans juga menambahkan beberapa cemilan seperti cokelat dan permen buah impor yang menurut Gladiola tidak perlu dia lakukan. 

"Sudah ada." Gladiola mencoba tersenyum. Agak aneh, karena selama ini dia hampir tidak pernah melakukan hal tersebut kepada Hans. Biasanya, dia selalu memasang senyum ketus dan wajah jutek. 

"Terus, nggak usah sedih-sedih lagi." Hans bicara dengan suara cepat. Dia waspada karena tahu, Gladiola kapan saja bisa menyemburnya dengan omelan.

"Kalau Nia kerja, lo bisa curhat sama gue."

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang