Komennya dikit banget. Eke jadi males up, ih.
Yang ga sabar, silahkan ke KK atau KBM. Udah bab 60.
KK ga bisa pakai pulsa? Pake shopeepay atau gopay aja. Eke belum bisa anu, wkwkw, bikin paket-paketan di sono. Maaf ya, ntar eke tanyain sama penulis lain biar ga banyak bayar, jadi bayar sebulan sebulan aja biar puas baca semua judul.🙏 katrok banget dah diriku.
***
23 Pelangi di Langit Gladiola
Hanya butuh dua puluh menit buat Gladiola dan Tata untuk kembali lagi ke mess mereka. Dengan alasan kesehatan, tata menolak ditraktir bakso. Tapi, tidak hanya itu saja. Tata tahu bahwa Gladiola telah berhemat sedemikian rupa dengan tujuan mempersiapkan biaya pengobatannya nanti. Bahkan, di saat semua orang sudah memiliki ponsel agar bisa dihubungi saat mereka tidak ada di tempat, Gladiola memilih menjualnya. Hal tersebutlah yang membuat Tata semakin sedih seolah-olah, Gladiola tidak memiliki seorang pun yang menghubunginya.
Keluarga?
Yang itu juga nampak rumit. Kembali ke rumah seperti pertarungan perang di dalam diri gadis delapan belas tahun itu. Hanya demi pengabdian dan juga pembuktian kalau dia bukanlah seorang anak yang cuma tahu menguras harta orang tua saja yang membuatnya tetap nekat menitipkan uang. Meski begitu, akhir-akhir ini Gladiola lebih suka mampir dan menunggui papanya di pangkalan ojek dan meminta ayahnya tersebut memberikan uang ke mama supaya suasana hatinya tidak buruk. Setiap diminta datang ke rumah orang tuanya sendiri, Gladiola hanya membalas dengan senyum.
Hatinya belum siap kembali ke rumah di tempat dia tidak diinginkan. Biarlah, dia tahu diri. Untuk saat ini yang paling ditunggu mama adalah titipan uangnya. Mungkin, suatu hari nanti, jika ibu kandungnya itu berkenan, dia akan datang dan menerima pelukan hangat. Tapi, bila hati mama tidak berubah, tidak mengapa. Dia sudah berusaha kuat. Mungkin, selama ini ibunya merasa kehadiran Gladiola tak ubahnya benjolan di dada gadis itu. Tak dirasa namun ada. Bila dia ingin tetap hidup, maka parasit itu harus dienyahkan walau dengan konsekuensi dia harus mengeluarkan banyak usaha seperti yang dilakukannya saat ini, mencari buah-buah sakti yang mampu menyembuhkan dalam sekali hempas seperti sapuan gelombang tsunami.
Untunglah, saat mereka kembali ke mess, suasana di depan tempat tinggal para pegawai The Lawson tersebut sudah sepi. Tidak ada lagi yang mengobrol atau melipat pakaian seperti tad dan buat Tata, itu berarti waktunya untuk kembali ke kamarnya juga. Namun, dia penasaran dengan apa yang bakal dikerjakan oleh Gladiola. Mereka sudah mengambil beberapa lembar daun dan buah mengkudu. Dia sendiri tidak punya bayangan akan seperti apa rasa obat yang berhasil dibuat oleh pegawai The Lawson yang paling muda itu. Akan tetapi, bila dirinya sendiri yang disuruh minum, Tata bisa memastikan kalau dia bakal muntah-muntah dengan hebat.
“Baunya aja minta ampun. Lo sanggup makan gituan?” wajah Tata yang jelas-jelas khawatir berharap Gladiola berhenti dengan niat gilanya itu. Mereka tidak punya pengetahuan yang cukup. Bisa jadi Gladiola salah takar. Kalau nanti berpengaruh pada organ tubuhnya yang lain, artinya gadis itu bisa kena sial dua kali. Satu karena bejolan dan yang kedua karena sok tahu memakai obat yang tidak jelas takarannya.
“Sangguplah. Yang pahit-pahit kayak brotowali aja gue makan. Dulu waktu kecil kalau nakal, mulut gue dijejelin nenek sama bibi batang brotowali. Mereka bilang supaya gue nurut. Tapi, sampe gede, gue ngerasa gini-gini aja. Noh, adek gue yang kelakuannya amit-amit, malah ga pernah dikasih gituan.”
Tapi, setelah merasa dia terlalu banyak membuka cerita tentang keluarga, Gladiola memilih diam. Bagi Tata, itu adalah tanda kalau dia harus kembali ke kamar. Lagipula, hari sudah hampir Magrib dan dia merasa tidak enak berada di luar pada jam segini. Namun, sebelum masuk, dia sempat menoleh ke arah Gladiola yang saat itu sedang memandangi perolehannya sore itu dengan tatapan bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi di Langit Gladiola
ChickLitPelangi Langit Gladiola vs Hans Bastian Adam