33

9.9K 2.1K 217
                                    

33 Pelangi di Langit Gladiola

Saat waktu pulang sudah tiba, kehadiran Hans di lobi gedung Mahakam Setia, tempatnya bekerja sebagai assistant product manager kosmetik membuat Gladiola menggelengkan kepala. Dia tidak percaya hampir sepanjang minggu mesti melihat wajah abang sahabatnya itu lagi. 

"Ridho nggak jemput, kan?" sebuah seringai tampak di bibir Hans dan pria itu merasa puas karena Gladiola hanya mengangguk. Entah kenapa Hans tahu berita itu padahal tidak ada yang memberitahu.

"Gue mau pesan ojek." Gladiola mengacungkan ponsel dan dari sana Hans bisa melihat kalau Gladiola sudah memesan layanan ojek online. Bahkan, dia hanya tinggal menyentuh tombol pesan saja maka tidak akan lama lagi, akan ada pengemudi ojek yang datang menjemput.

"Batalin, La. Gue butuh bantuan lo lagi."

"Lagi, lagi. Masak mesti gue yang cari dia juga. Lo abangnya." 

Wajah Hans nampak mendung. Bukan apa-apa. Selama ini dia tahu betul kalau Gladiola dan Kania tidak pernah terpisahkan. Tapi, setelah adiknya hilang, Gladiola menjadi ogah-ogahan untuk membantu. Padahal, dia secara tidak langsung ikut terlibat atas hilangnya Kania. Seharusnya, sejak awal, Gladiola menelepon Hans dan mengatakan kalau Kania berada di kontrakannya. Sekarang, setelah nasi menjadi bubur, Hans menuntut tanggung jawab dari Gladiola juga. 

"Tapi lo sahabatnya." 

Huh, Gladiola mesti menarik napas panjang demi melihat kedunguan pria di depannya itu. Hanya karena dia bersahabat dengan Kania, dia harus menghabiskan semua waktunya untuk ikut mencari wanita itu. Apakah Hans lupa kalau Kania bukan anak kecil lagi? Dia telah berusia dua puluh empat tahun. Jika ingin pulang ke rumah, Kania akan melakukannya. Tidak perlu disuruh.

“Lo jangan jadikan alasan gue sahabat Nia lalu gue mesti dua puluh empat jam di samping dia. Nia sudah dewasa, Hans.” 

Gladiola hampir akan berkacak pinggang karena melihat sifat lawan bicaranya tersebut. Tetapi, dia mengurungkan niat. Tidak ada urusan dia bersikap jengkel kepada Hans walau kenyataannya benar. Hans sudah terlalu mengurusi kehidupannya seolah-olah dia punya andil banyak. Yang tadi, malah Hans amat tahu kalau Ridho tidak menjemput. Jika pria itu tidak mencari tahu, mustahil Hans bakal datang. Pikiran buruk sudah memaksa Gladiola menuduh kalau Hans bisa jadi menghubungi Ridho dan bertanya langsung.

“Belum. Dia masih anak-anak.” balas Hans dengan dahi berkerut. Gladiola bahkan nyaris tersembur tawa karena mendengar kata-kata barusan.

“Sinting!” 

Tidak perlu lemah lembut. Gladiola malah senang dia bisa sebebas itu kepada abang sahabatnya tersebut. Hans juga tidak tersinggung. Dia malah menyeringai begitu mendengar Gladiola seolah memuntahkan segala kekesalannya selama beberapa hari terakhir.

“Lo beruntung Ridho nggak cemburuan.” Gladiola bicara lagi. Dia masih berdiri di tempat, mengabaikan ajakan Hans yang entah ke sekian kali supaya Gladiola mau bergabung bersamanya mencari sang adik. 

“Ngapain dia cemburu sama gue?” Hans mencoba menggeleng dan buat Gladiola hal tersebut terdengar seperti percuma saja Ridho cemburu, toh, Hans selamanya tidak pernah punya perasaan kepada Gladiola. Meski begitu, dia selalu saja menjadikan Gladiola rewang terutama dalam hal seperti ini. 

“Iya, gue tahu.” Gladiola menjawab pendek. Rambut keriting cantiknya yang sudah mencapai lengan bergoyang. Tatanan rambutnya hari itu amat sederhana. Hanya belah pinggir. Bagian sebelah kanan kepalanya dia jepit dengan beberapa biji penjepit hitam dan bagian kiri dia biarkan tergerai. Sekarang, setelah dewasa, banyak sekali orang yang menyatakan kagum dengan rambut yang dia miliki. Karena itu juga pada akhirnya Gladiola mulai belajar mencintai rambutnya sendiri. Ternyata, setelah dewasa, kehidupan yang dia jalani ternyata tidak seburuk yang dia duga dan lebih banyak lagi manusia yang punya masalah lebih rumit dari yang dia alami saat ini.

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang