Malem minggu ramein lapak ini, yes.
***
22 Pelangi di Langit Gladiola
Gladiola yang jadi makin misterius usai dia bersikap main kucing-kucingan dengan sahabatnya, membuat Kania Adam jadi amat penasaran. Sudah beberapa hari dia tidak les Bahasa Inggris. Nomor ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Sewaktu Kania datang ke supermarket dan bertanya kepada rekan satu merk kosmetik dengan sahabatnya itu, jawaban yang dia dapat malah membuatnya makin ingin tahu.
"Oh, Ola ikut event, udah setengah bulan ini. Keliling-keliling mal. Kadang di Gancit, kadang di Citos. Hari ini kalau nggak salah mereka ke Depok."
Yang menjawab adalah Tata, rekan Gladiola yang Kania tahu punya hubungan cukup akrab dengan Gladiola. Dia juga tahu kalau Gladiola sering menginap di kamarnya. Tapi, Kania tidak cemburu soal sobat akrabnya bakal lebih condong ke Tata. Kania hanya menyayangkan Gladiola seolah menghilang tanpa kabar.
"Nomornya udah nggak dipake lagi." Tata menjelaskan ketika Kania mengeluh dia tidak bisa menghubungi Gladiola, "HP-nya dia jual."
Sampai di situ Kania makin curiga. Apakah mungkin sahabatnya sedang kesulitan keuangan? Bukankah, gaji SPG tidak kecil-kecil amat dan dia tahu kalau Gladiola amat menyukai ponselnya yang baru. Tetapi, pikiran buruk kemudian melanda dirinya dengan amat cepat sehingga ketika sore hari tiba, dia memuntahkan semua kekesalan kepada Hans yang kebetulan pada saat itu sedang berada di rumah.
“Gara-gara lo semua, sih. Bubar mimpi indah gue!” Kania mengamuk sambil menghentakkan kaki. Hans sedang bersiap mencuci motor di pekarangan rumah. Dia sudah memegang selang air dan hanya bisa memandangi kelakuan adiknya dengan tatapan bingung.
“Apaan, Dek? Lo kalau ngomong yang jelas.”
Kania berdecih. Dia melemparkan bokong ke atas kursi teras lalu mengangkat kedua kaki. Dia tidak pernah terpisah dengan Gladiola hingga berminggu-minggu seperti saat ini. Bukankah tahun baru akan segera tiba dan seharusnya Gladiola bisa menikmati masa mudanya yang indah, bukannya sibuk dengan kegiatan mencari uang.
“Hidup gue nggak sama kayak lo, Nia. Keluarga kalian nggak kekurangan duit. Dan yang pasti, lo disayangi sama keluarga lo. Nggak kayak gue, yang sejak lahir cuma bisa jadi beban semua orang. Utang hidup gue banyak banget sama Mama. seumur hidup pun nggak bakal bisa terbayar semuanya …”
Kania termangu saat dia mengingat kata-kata Gladiola yang menolak ajakannya buat menonton bioskop. Saat itu, Gladiola sudah tampak mencurigakan. Dia sudah mulai susah ditemui. Pandangan matanya tampak kosong dan daripada bahagia, Kania merasa kalau daripada berusaha tersenyum, Gladiola tampak seperti orang yang sedang menahan tangis.
“Gue udah libur, La. seharusnya kita bisa jalan-jalan ke mana, kek. Berdua aja. Lo pernah bilang, kalau udah bisa nyari duit sendiri, kita bakal nikmatin hidup.”
Kania menghela napas. Apakah Gladiola merasa minder karena dia tidak kuliah? Beberapa kali dia pernah melihat sahabatnya itu berjalan dengan rekan-rekan kuliahnya. Tapi, Kania tidak seakrab itu dengan mereka. Baginya, hanya Gladiola sahabatnya yang paling dia sayang.
“Lo beneran mau temenan sama gue karena emang sayang, kan, Nia? Soalnya yang lain pada nggak mau jadi temen gue. Rambut gue keriting, gue makannya banyak …”
“Ola nggak masuk les. HP-nya dia jual. Gue mesti cari ke mana coba? Di supermarket dia nggak ada. Temen-temennya bilang dia ikut event akhir tahun keliling mal.”
Nada suara Kania terdengar rendah sehingga daripada bicara, Hans yakin dia mendengar adiknya seperti sedang kumur-kumur. Lagipula kenapa Kania bisa sesedih itu? Dia, kan, bisa minta Hans mengantarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi di Langit Gladiola
أدب نسائيPelangi Langit Gladiola vs Hans Bastian Adam