Lima

14.2K 3K 367
                                    

5 Pelangi di langit Gladiola

Satu minggu menjelang liburan usai, Gladiola memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya. Biasanya, jika dia seperti itu, artinya antara dirinya dan kedua bibi ada permasalahan. Walau sebenarnya, dia biasanya tahan berada di sana hingga satu bulan bahkan lebih. Tapi, begitu melihat batang hidungnya muncul di depan warung, Ranti yang saat itu sedang bercengkrama dengan Hans yang seperti biasa memesan air galon, segera bangkit dan memeluk kakak perempuannya dengan heboh.

"Dahlah, nggak usah peluk-peluk gue. Biasanya lo nggak peduli gue masih napas atau nggak." bisik Gladiola karena Ranti menolak melepaskan pelukan.

"Kado gue belom lo kasih."

Astaga. Capek-capek dari rumah nenek dan harus menyiapkan mental berada di rumah lagi, dia sudah dimintai kado. Apa Ranti lupa kalau dia adalah remaja paling bokek sedunia?

"Gue capek, Ti. Tangan gue masih ada bau eek Nenek. Lo mau muka lo gue krues pake tangan?" Gladiola bicara jujur. Tenaganya sudah tidak ada untuk meladeni si bungsu. Tadi di rumah nenek dia bertengkar dengan Bi Ambar yang menuduhnya maling. Maling dari mana kalau di tasnya saja tinggal dua ribu dan itu pas buat ongkos pulang. Bi Ambar juga mengoceh kalau dia makan terlalu banyak dan menghabiskan jatah lauk hari itu padahal menu yang dimasak paling banter tempe dan sayur bening. Gladiola selalu mengambil dua potong, itu juga yang paling tipis supaya dia tidak merepotkan orang lain. Sadar diri dia menumpang dan yang bisa dilakukannya hanyalah menolong membersihkan rumah, memandikan dan mengurusi nenek, serta tidak bikin ulah. 

Tapi, itu saja, sudah membuat orang kesal. Jadi, dia kemudian berkemas setelah mencium jidat nenek dan minta maaf tidak bisa menjaganya lagi seperti biasa dan setelah pulang, bayi besar kesayangan mama malah bergelayut di pundaknya, memaksa minta kado.

"Lo pelit banget sama gue. Masak kalah sama Hans."

Mendengar nama Hans disebutkan, Gladiola merasa dia mendengar suara dehaman yang sengaja sekali dibuat-buat. Ketika mengangkat kepala, dilihatnya pemuda itu sedang duduk mengangkat satu kaki di atas motor matik miliknya. Gaya Hans tampak selangit dan daripada ingin meloncat-loncat karena menemukan pria itu, Gladiola malah ingin menangis. Kenapa di saat hatinya sedang lelah seperti ini, malah gebetannya yang dia lihat? Alih-alih bisa meluapkan semua kesedihan di dada si tampan itu, Gladiola malah harus mengucap istighfar karena kelakuan Ranti membuatnya tampak seperti Bawang Merah yang kejam atau bahkan, saudari tiri Cinderalla.

"Iya. Gue pelit. Ntar lo lihat aja, kalau mati nanti kuburan gue sempit." Gladiola menepis tangan Ranti dan berjalan menuju teras rumah. Hans sendiri sudah berdiri dan langsung menggodanya.

"Seminggu nggak lihat, makin keriting aja."

Gladiola memejamkan mata dan dia memaki rambut sialannya yang selalu membuat dia tampak makin jelek. Hans saja tidak pernah lupa merundung rambutnya dan gara-gara itu, dia mesti menahan tangis. Sangat menyedihkan rasanya dikata-katai oleh orang yang paling disukai. 

Mama yang saat itu baru saja keluar membawa seember air untuk mencuci mesin parut kelapa kemudian terkejut melihat si sulung sedang melepas sandal di depan rumah.

"Nah, pulang. Gue kirain lo nggak mau balik lagi. Tuh, baju kotor lo numpuk seminggu nggak dicuci. Mau jadi apa? Sempak lo jamuran."

Astaga. Bahkan mama tidak ragu menjelek-jelekkannya di depan Hans dan Ranti. Kenapa mama harus membahas celana dalamnya di depan pemuda itu? Bukankah hal tersebut sangan privasi?

"Idih, jorok."

Tuh, kan. 

Gladiola tidak bisa melakukan apa pun kecuali menghela napas dan dia yang merasa amat malu berharap bisa membenamkan diri di dasar got lalu membusuk dan menghilang ditelan bumi saja. 

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang