62

8.6K 1.6K 207
                                    

Bab ini sekitar bab 63-64

Iya, loncat. Tapi eke panjangin. Ramein komen ya.

Bentar lagi open PO

***
Gladiola kira, masa-masa penghiburan menjalani hati yang patah dan terluka akibat ditinggal Ridho bakal selesai sekitar satu atau dua hari saja. Akan tetapi, di hari Jumat sore, hari terakhir dia bekerja untuk minggu itu, kedatangan Hans yang tiba-tiba membuatnya menaikkan alis. 

“Nia nggak ke sini.” 

Hans tertawa. Mereka berdua berada di lobi kantor Gladiola dan kehadiran Hans nyata-nyatanya membuat beberapa rekan kerja yang mengenal wanita itu berdeham-deham. Mereka sudah tahu kalau Gladiola tidak lagi dijemput oleh Ridho dan secara simpang siur mendengar kabar kalau pria itu sudah mendua. Sedang, Hans yang tidak hanya satu atau dua kali mampir sejak dulu, telah menjadi kandidat yang jauh lebih baik untuk Gladiola dan mereka secara tanpa sadar memang telah mendoakan hubungan Gladiola dan Ridho kandas. Karena itu juga, setelah mereka kembali melihat Hans yang terlihat amat-amat keren setelah tahu Gladiola bisa dimiliki oleh siapa pun juga, mereka memberi dukungan yang kelewat semangat sehingga membuat Hans tidak berhenti menyunggingkan bibir. 

“Berisik amat, sih?’ Gladiola mencoba bicara judes kepada dua orang petugas FO yang mengenalnya. Tetapi, dia malah mendapat respon tawa dari mereka berdua. Tidak ada yang merasa takut walau Gladiola yang notabene adalah atasan mereka bersikap galak. 

“Terus, kenapa lo yang mampir?”

Hans mengusap pelipisnya dengan tangan kanan sebelum bicara lalu dia bicara lagi, “Kebetulan gue lewat. Tadi Nia bilang kalau lo mau menginap lagi.”

Gladiola tersenyum masam. Dia memang berencana mampir ke rumah keluarga Adam dan juga bertemu Kania di lobi kantor tempat mereka berdua berdiri saat ini. Namun, entah kenapa malah wajah Hans yang muncul bukan adiknya. 

“Nia nggak WA gue kalau dia nggak bisa ke sini. Akal-akalan lo aja, kan?”

Gladiola bersedekap. Hari itu dia memakai blazer berwarna putih gading, dengan dalaman tanktop berwarna krim beserta rok selutut yang warnanya sama dengan blazer yang dikenakannya. Entah kenapa, Gladiola ingin marah karena di saat yang sama, Hans juga memakai setelan yang warnanya senada dengan yang dia pakai saat ini. Kemeja kanvas yang dipakai Hans adalah seragam kerjanya yang biasa. Hanya saja, karena Hans memakai celana jin berwarna cokelat muda, otomatis mereka berdua terlihat seperti pasangan romantis.

Lo pasti sudah ada niat nyama-nyamain baju kayak gue, maki Gladiola di dalam hati. Dia masih berdiri di tempat sementara di hadapannya, Hans mengambil ponsel dan menelepon seseorang. 

“Dia nggak percaya.” Hans bicara. Yang jelas, Gladiola tahu yang sedang dibahas adalah dirinya sendiri.

“Nih, Nia mau ngomong.”

Hans memberikan ponselnya kepada Gladiola yang menatapnya dengan wajah tidak percaya kalau pria itu sedang membuktikan ucapannya.

“Nia.” Gladiola mulai bicara dan dari seberang terdengar suara sahabatnya yang amat dia kenali.

“Ola, Bra-ku sayang. Lo ama Hans dulu, ya. Sori banget. Gue mendadak ada wawancara kerja sekarang. Kalau kelar, kita langsung ketemuan.”

“Lo ngelamar kerja? Tumben nggak ngasih tahu gue.” Gladiola membalas. Dia hendak protes tetapi ekor matanya kini malah memperhatikan Hans yang sudah membalikkan tubuh, seolah sedang memberi ruang kepada Gladiola untuk bicara dengan Kania. 

Tumben. 

“Iya. Dapet posisi bagus, Bra. Sayang kalau gue nggak mencoba.” Kania membalas. Terdengar nada antusias di dalam suaranya. Tetapi, gara-gara itu juga Gladiola merasa khawatir.

Pelangi di Langit GladiolaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang