Makasih buat yang rame komen.
***
19 Pelangi di Langit Gladiola
Tidak tahu sudah berapa lama Gladiola duduk termenung menatap tetesan air hujan dari cucuran atap depan tempat kursus bahasa Inggris yang menjadi penghiburannya selama beberapa jam terakhir. Sudah beberapa kali dia tidak masuk. Hari ini adalah hari pertama setelah dia bolos tanpa kabar. Kania sempat mencarinya, tetapi dia memilih mengabaikan sahabatnya itu. Setelah beberapa hari, tidak ada lagi panggilan telepon masuk dari Kania yang mencarinya.
Untung saja hari ini sahabat tercintanya tersebut tidak masuk. Gladiola merasa batinnya belum kuat bertemu orang lain, tetapi otaknya terus mengatakan alangkah sayang uang iuran kursus mesti terbuang sia-sia. Dia tidak boleh melewatkan hari-hari terakhir menjelang ujian kenaikan tingkat. Masih ada beberapa level lagi sebelum tingkat advance dan Gladiola amat butuh ijazahnya.
Seenggaknya, kalau ada lowongan kerja ke luar negeri, gue bisa maju paling duluan. Tamatan SMA yang mau jadi TKW banyak. Tapi, kalau gue pintar bahasa Inggris, bisa jadi nilai lebih. Apalagi kalau gue milih jadi baby sitter atau perawat. Sayangnya, otak gue nggak nyampe ke sana. Tapi, gue dengar kalo nggak salah, ada kursus jadi baby sitter.
Magnolia sempat mengerjap. Seharusnya dia tidak secengeng ini. Seharusnya air matanya sudah kering. Nyatanya, hingga detik ini, dia masih belum bisa melupakan perlakuan ibu kandungnya sendiri beberapa hari lalu.
"Habis duit gue selama ini."
Kalau dia bercerita kepada orang lain, mereka bakal menertawakan Gladiola. Tidak pernah ada ibu jahat seperti di dalam kisahnya. Semua ibu sudah pasti baik. Mereka sudah mengorbankan nyawa untuk melahirkan. Mereka juga sudah pasti mengorbankan semua hal untuk membesarkan anak-anak yang mereka lahirkan, baik itu dengan kasih sayang atau materi.
Di mata orang-orang itu, dia sudah pasti bakal dianggap pengadu, tokoh utama superjahat yang durjana kepada ibu kandungnya sendiri. Gladiola yakin, dia bakal dikutuk jadi Malin Kundang perempuan saking durhaka kepada wanita yang telah melahirkannya itu.
Tahu gitu gue lebih baik nggak nanya. Padahal, maksud gue, tuh, supaya Mama bisa kasih tahu, obat herbal apa yang bisa gue makan supaya sembuh. Gue nggak minta duit. Wong, dari dulu aja gue nggak pernah minta. Apalagi sekarang pas gue bisa cari duit sendiri. Apa gue setega itu ngeruk duit emak gue? Saking sayangnya nggak mau makan duit mereka, gue milih nggak kuliah supaya bisa cari duit.
Gladiola menghela napas. Dia berharap hujan lekas berhenti supaya bisa cepat pulang. Dia ingin mandi dan segera tidur. Dia tidak bersemangat makan walau terakhir kali perutnya terisi sekitar pukul sebelas siang tadi. Itu juga hanya dua potong bakwan dan seiris tempe goreng. Jika tidak dipaksa Mbak Tata, dia lebih memilih kelaparan.
“Kok, malah hujan-hujanan?”
Suara sehalus beledu yang barusan mampir ke telinga Gladiola membuatnya seketika bergidik. Seumur-umur, dia hampir tidak pernah mendengar Hans mengkhawatirkannya sehingga ketika melihat pria muda itu berdiri di sebelahnya dengan kedua tangan berada di saku celana jin, tersenyum ke arahnya. Mau-tidak mau, Gladiola segera teringat kepada Ranti yang begitu benci kepadanya sejak insiden colekan krim kue di hari ulang tahun Kania.
Gladiola mencoba menghindar dengan mengunci bibir. Suasana hatinya sedang tidak bagus. Membalas Hans belum tentu membuatnya makin senang. Yang ada malah dia semakin punya keinginan untuk berlari hingga ke jalan raya dan menabrakkan tubuhnya entah ke mobil mana saja yang lewat. Batinnya sudah kelewat sakit dan kini, dia sudah mendapat satu lagi tambahan penyakit di tubuhnya. Dia bahkan menertawakan dirinya yang masih bertahan hidup padahal sepertinya dia sudah diberi alasan untuk mengakhirinya dengan mudah.
Tapi, gue udah coba mati, nggak bisa. Dasar kulit badak, kali. Kena kanker seharusnya sudah bikin gue terkapar. Nyatanya, sampai sekarang gue masih bisa jalan.
Kanker, kan, kantong kering, pikir Gladiola sambil menertawakan diri. Dulu, dia sering sekali menyebut dirinya sedang kanker kepada Kania yang kerap mengajaknya jajan. Apa mau dikata, Gladiola benar-benar tidak punya uang saat itu. Kini sebuah ironi terjadi lagi. Uangnya sudah dia kantongi, akan tetapi, dia malah menderita penyakit yang sama. Apakah hal tersebut merupakan kekuatan doa? Dia menyesal sudah berdoa buruk. Seharusnya, Gladiola berdoa yang baik-baik saja.
“Sombong banget diajak ngobrol nggak nyaut. Kemaren-kemaren masih mau respon.” Hans bicara lagi. Malam itu dia memakai jaket jin berwarna denim. Mahasiswa semester enam tersebut terlihat amat tampan. Tapi, fokus Gladiola bukan itu. Dia masih merasa nelangsa dan sepertinya air hujan telah membuat kesedihannya meningkat lima atau enam kali lipat.
“Udahlah. Lo kalau mau balik, balik aja sana.” Gladiola mengusir. Dia tidak mau banyak bicara lagi. Lagipula, sudah pukul sembilan. Bicara lebih banyak kepada Hans membuat suasana hatinya makin kacau karena teringat Ranti yang menggerutu tanpa henti kepadanya seolah mengambil kesempatan di saat mereka berdua sudah bukan pacar lagi.
“Lo kedinginan, nggak? Pakai jaket gue, ya?”
Gladiola masih sempat menggeleng ketika tiba-tiba saja Hans membuka jaket yang dipakainya lalu buru-buru menyampirkan ke bahu Gladiola. Lawan bicaranya tentu saja menjadi sangat panik, terutama karena di saat yang sama beberapa peserta kursus memperhatikan mereka. Tidak sedikit juga dari mereka yang tersenyum simpul, terutama kawan satu kelas yang tahu sekali kalau di dalam kelas, Hans suka menggoda Gladiola.
“Lo apa-apaan, sih. Sana. ambil jaket lo. Gue nggak sudi.” Gladiola mengibas-ngibaskan tangannya, seolah dia tidak ingin menerima tawaran Hans sama sekali. Lagipula, entah angin apa yang menyebabkan pria itu jadi sebaik ini? Gladiola merasa kalau sudah pasti ada udang di balik batu.
“Jangah, lah. Nggak usah dilepas. Badan lo dingin banget.” ujar Hans ketika dia tidak sengaja menyentuh lengan kiri gadis muda itu. Galdiola sendiri yang terlalu terkejut kemudian mundur sambil setengah meloncat ke arah luar beranda tempat kursus, tepat di mana tetesan air hujan turun dan mulai membasahi tubuhnya.
“Ola, lo jangan ujan-ujanan.”
Tangan kanan Hans lancang menarik tangan kiri Gladiola. Gadis itu terlalu refleks karena sentuhan Hans di tangannya adalah hal yang tidak pernah dia bayangkan. Dia bahkan hampir menempeleng wajah tampan Hans, tanpa menghiraukan tatapan orang-orang yang menyaksikan perbuatan mereka seperti sedang menontong film India. Bahkan, ketika akhirnya Gladiola terserimpet tali sepatunya sendiri dengan Hans masih memegangi bahunya, dia tidak percaya akhirnya merasakan secara langsung adegan paling memalukan di dalam hidupnya itu.
Mereka berdua kemudian jatuh di pelataran parkir kursus. Untung saja pada saat itu Hans menahan tubuh Gladiola dengan kedua kaki dan tangan kanannya memegang kepala Gladiola yang rambutnya tergerai hingga mengenai coran batu. Tapi, dengan segera, Gladiola sadar, posisi mereka berdua amatlah tidak sopan bila dilihat oleh orang awam dan dengan segera, dia menendang pria itu dengan lututnya hingga Hans terjengkang.
Begitu terdengar erangan keluar dari mulut Hans dan pria itu memegang bagian paling sensitif di tubuhnya, Gladiola tahu, dia telah melakukan kesalahan yang amat fatal.
Astaga, gue nggak salah nendang kantong menyannya, kan?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi di Langit Gladiola
Chick-LitPelangi Langit Gladiola vs Hans Bastian Adam