.24.

44.2K 4.8K 15
                                    

Liska masih di tempat dengan raut wajah syok, mencerna semuanya. Semua yang terjadi padanya beberapa saat yang lalu. Saat mengingatnya, tanpa di duga tubuhnya mulai bergemetar karena takut.

"Dek, ayo pulang" ucap seorang lelaki dengan perawakan lebih muda, yang tadi di panggil Zidan. Dan saat tangan itu akan memegang pundak Liska, dengan gerakan cepat Liska menghindarinya.

"Jangan sentuh," ucap Liska dengan lirih dan sorot mata kosong.

"Sepertinya dia trauma" ucap lelaki di belakang Zidan dengan mata terarah ke arah Liska.

"Sepertinya," balas Zidan sambil menegakkan badan kemudian menatap iba ke arah Liska.

Setelahnya mereka mengantar Liska pulang, dengan mobil milik Zidan. Di perjalanan Liska hanya diam sambil menatap sepatunya dengan sorot mata kosong.

Sesampainya di rumah, Liska langsung turun tanpa mengatakan apa pun. Dia berlari memasukki rumah, hingga tak sadar dengan anak tangga yang ada di teras, membuatnya hapir jatuh tersungkur.

'Liska' menatap ke arah punggung itu dengan sorot mata iba. Dengan mental yang tak seberapa dan di timpa kejadian seperti itu, mungkin menjadi pukulan besar bagi kejiwaannya.

Dirinya mulai melebur lagi dan berpindah ke ruangan yang cukup gelap, tak ada pencahayaan sama sekali. Dengan gorden yang tertutup rapat dan lampu ruangan yang tak di nyalakan. Tapi satu yang 'Liska' tangkap, ruangan ini tak asing baginya.

Kakinya mulai melangkah menyusuri ruangan itu, hingga telinganya menangkap sebuah suara. Suara lirik dengan isakan-isakan samar.

"Aku kotor" ucap seseorang dengan lirihnya.

Mata 'Liska' menelisik hingga menemukan sosok rapuh di pojok ruangan, dengan rambut kusut yang menutupi wajahnya.

"Aku kotor" kata-kata itu yang terus berulang dari mulutnya. Dirinya terlihat begitu rapuh dan tak bersemangat untuk hidup.

"Mama, Liska kotor" ucapnya lagi sambil mengangkat wajah, menatap ke depan dengan sorot mata penuh keputusasaan dan kehancuran.

Liska diam sejenak hingga dia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju nakas.

Tangan itu sibuk mencari sesuatu di dalam laci, hingga pergerakannya terhenti karena barang yang dia cari sudah ketemu.

Tangannya mulai terangkat dan terlihatlah sebuah pisau lipat dengan mata pisau yang mengkilap, menandakan pisau itu sangat tajam.

Matanya menatap lekat ke arah pisau tadi, dengan perlahan tangan yang memegang pisau tadi bergerak mendekati ke pergelangan kirinya.

'Liska' yang melihat itu, menatap tak percaya ke arah orang di depannya.

"Heh! Apa yang lu lakuin? Jangan bego!" teriak 'Liska' dengan raut wajah terkejut dan ingin meraih pisau tadi tapi tanganya tembus begitu saja.

"Sial!" desis 'Liska' dengan raut wajah frustasi.

Sosok Liska menghentikan pergerakan tangannya, matanya gemetar takut. Hingga beberapa detik kemudian dia luruh dan pisau tadi jatuh dari pegangan tangannya.

"Akhh!" teriaknya sambil menjambak rambutnya dengan kencang, merasa frustasi dengan keadannya.

Dia kembali memeluk kakinya dengan tubuh berayun ke depan dan ke belakang. Matanya menatap kosong ke arah depan, dengan pikiran melayang entah ke mana.

"Semua terasa tak adil" gumam Liska. Perkataan terakhir yang di dengar oleh 'Liska'. Sebelum dirinya melebur dan berpindah tempat. Dia kembali ke tempat semula, ruangan putih kosong, tanpa ada jalan keluar sama sekali.

Mata itu sibuk menatap ke sana dan kemari hingga suara seseorang menggema di ruangan tadi.

"Hai Liska atau ku panggil Fia?" ucap seseorang tanpa menunjukkan wujudnya.

Liska menatap ke sana, ke mari dengan kerutan di dahinya.

"Siapa?" tanya 'Liska' dengan raut wajah heran.

"Pemilik tubuh yang sedang kau tempati saat ini" balas suara tadi yang masih tak menujukkan wujudnya.

"Mau apa kau?" tanya 'Liska' dengan datar dan mata yang menatap waspada ke sekelilinya.

Tak ada sahutan dari suara tadi, yang ada  malah suara ketukan sepatu yang menggema di ruangan itu.

'Liska' mengikuti sumber arah suara, dan di sana terlihat seseorang dengan gaun putihnya. Wajah itu terlihat pucat dan tak hidup.

Saat sosok itu tampak di depannya, tanpa di duga sosoknya kembali ke tubuh semula. Menjadi sosok Fia yang asli.

"Hai" sapa orang tadi dengan senyum tulus.

"Kau Liska?" tanya Fia dengan raut wajah heran.

"Yah, dan terima kasih" ucap Liska penuh akan ketulusan.

"Untuk?" balas Fia dengan raut wajah tak paham.

"Semuanya, terima kasih" ucap Liska lagi dengan senyum tipis.

"..." Fia lebih memilih diam dengan mata menelisik sosok di depannya. Dengan tubuh yang masih memasang sikap waspada.

"Kau tak perlu memasang sikap waspada kepadaku Fia. Aku datang sesuai permintaanmu, kau ingin melihat semua memoriku bukan?" ucap Liska dengan senyum kecil dan mata menatap Fia dengan lembut.

"Maaf, aku telat memperlihatkan memoriku untukmu, aku hanya membutuhkan waktu. Karena jika kau ingin melihat semua memoriku, maka mau tak mau aku juga akan melihatnya kembali, dan itu sangat menyakitkan untukku" ucap Liska penuh sesal dan kepala menunduk dalam.

"Aku paham dan ini bukan salahmu, jadi tak perlu meminta maaf" balas Fia dengan senyum lembut.

"Benarkah?" tanya Liska dengan senyum bahagia.

"Ya" balas Fia dengan anggukan kepala ringan.

Beberapa detik mereka saling diam. Sosok Liska yang sedang fokus menatap wajah Fia dan Fia yang membalas tatapan Liska dengan kerutan di dahinya.

"Boleh aku meminta tolong? Tolong buat keadilan untuk tubuhku. Aku merasa sakit melihat mereka yang selalu memojokkanku. Buat mereka tahu, jika bukan aku antagonisnya" ucap Liska dengan kepala menunduk dalam.

"Kenapa? Ini hanya cerita novel bukan? Jadi wajar saja jika ada salah satu pemeran figuran yang harus berkorban" ucap Fia memancing respons Liska.

"Bukan! Ini bukan novel! Ini nyata, hanya berbeda dunia saja" ucap Liska dengan suara yang semakin pelan di akhir kalimat.

Fia yang mendengar jawaban Liska barusan hanya tersenyum kecil dan mengusap pundak Liska pelan.

"Akan ku bantu semampuku" balas Fia dengan lembut, membuat Liska menatap penuh harap ke arah Fia.

"Benarkah? Terima kasih" ucap Liska dengan senyum mengembang indah, tapi hanya bertahan hingga beberapa detik, hingga senyum itu di gantikan dengan raut wajah serius.

"Tapi masih ada satu teka-teki yang harus kamu pecahkan sendiri Fia. Karena dia adalah dalang dari semua ini. Dia menjadi kunci atas apa yang menimpaku" ucap Liska dengan mata menatap serius ke arah Fia.

"Yah, aku paham" balas Fia sambil menganggukan kepala pelan, paham dengan perkataan Liska barusan.

"Setelah ini kamu akan kembali, dan aku akan mentranfer semua ingatanku. Tadi hanya ingatan inti dari permasalahan saja" ucap Liska dengan senyum manis.

Mendengar perkataan Liska barusan, Fia hanya bisa menganggukan kepala pelan.

"Dan tolong jaga Mama, jangan buat dia bersedih" ucap Liska dengan raut wajah penuh harap.

"Akan ku lakukan semampuku" balas Fia dengan senyum lembut.

Tak membutuhkan waktu lama, Fia mulai merasa tubuhnya di sedot secara paksa dan semuanya menjadi gelap.

Dunia Novel (Sudah DiTerbitkan) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang