Dicuekin, aku yang enggak tega.
Dipeduliin, dianya malah ngelunjak.
Dasar manusia. Tahu aja cara bikin dilema.
-------
Bandung, Jawa Barat.
14:05 WIB
Hariku masih normal. Sebagai Rein Avicenna, yang terpaksa jadi "sulung" dan "anak gadis", dikelilingi cowok-cowok absurd sekaligus abstrak, dan ... hariku masih normal.
Masih.
Pesan Kak Delon memberitahu bahwa keretanya tengah merapat di stasiun. Speaker pengumuman stasiun sedang mengulang kabar itu. Kayaknya pengujung hariku bakal kacau.
Penampilan Kak Delon mudah dikenali. Kerumunan orang membuktikannya.
Topi baseball hitam. Jaket bomber hijau butek yang kusut dan lusuh. Celana kargo panjang, warna khaki kecuali di bagian lutut yang menghitam. Sepatu hiking yang kelihatannya benda paling mahal di tubuhnya selain carrier—kapasitas 65 liter, dihiasi sandal gunung yang menggantung. Dia menerobos seluruh kerumunan dengan santai. Orang-orang meliriknya jutek, kaget, dan bingung.
Kak Delon tertawa begitu berhadapan denganku. "Beneran ngejemput?" Masih sama dengan sosok di memoriku. Bersih tanpa jerawat. Kulit cokelat terang. Gigi rapi. "Kirain kamu ngasih janji tanpa pembuktian doang."
Aku mendengkus, berjalan ke pintu keluar Stasiun Hall. "Janji yang tidak ditepati adalah beban, kata River."
***
"Seperti pohon, bagaimana manusia hidup ditentukan oleh lingkungannya." Artinya, untuk memahami orang, aku harus tahu lingkungannya.
Jadi, seperti apa lingkungan dia?
Oh ya, "dia" Rivierro Arata. River. Sahabatku. Saudara sehati tak sekandung. Jarak Bandung-Tanjung Pinang enggak menghilangkan predikat itu.
Bayangkan saja pengelana urakan, dengan pena tinta dan buku sebagai pelindung. Penyihir. Seperti ... Penyihir Pengelana. Muncul dari medan perang dengan senyum lebar.
Dia homeschooler, hobi membuat illustrated journal, punya obsesi yang aneh terhadap rahasia, kebohongan, dan kejutan. Poin plusnya, dia punya kehangatan yang menjerat banyak orang.
Dua dari banyak korbannya: aku dan Kak Delon.
Tapi selain "korban River" dan kecintaan pada jalan-jalan, frekuensi aku dan Kak Delon susah nyambung.
Ini demi River yang entah-sengaja-atau-tidak mempertemukan aku dengan Kak Delon. Bagaimanapun, Kak Delon termasuk dalam lingkungan River. Mereka mirip. Abstrak, absurd, kebanyakan ketawa.
Padahal, percayalah, cewek dengan kesabaran setipis tisu enggak boleh disatukan dengan penguras kesabaran kelas paus. Kakap saja kalah besar.
***
Parkiran Stasiun Hall ramai dan sumpek. Ini adalah Senin anomali; sehari setelah Tahun Baru Islam. Senin yang menawarkan kesempatan minggat dari tanggung jawab. Kak Delon mungkin salah satu yang mengiyakannya.
"Kakak mau ke mana dulu?"
Berkeliling lorong Pasar Astana Anyar yang becek dan penuh pencopet adalah cara River berkangen ria dengan Bandung. Tambahkan jajan cireng, tahu gejrot, dan lumpia basah. Sekejap mata, rasa rindunya raib dan siap pulang ke Tanjung Pinang. Secepat aku menderita syok dan kehilangan memori saling kenal sebelas tahun dengannya.
Nah, sekarang Kak Delon.
Jangan cara yang nyeleneh, tolong.
"Ke rumahmu aja, kali?"
"Apa?" Aku tersedak ludah sendiri. "Ngapain? Bukan menginap, kan?"
Kak Delon tersenyum. Efeknya mirip soda. Manis, tapi menusuk hidung dan lidah. Dalam kasus ini, menusuk mata dan hati. Sama-sama menyiksa.
"Kamu bolehin?" bisiknya sambil mencondongkan tubuh ke arahku. Lidah topi kami hampir beradu. Aku mundur sedikit. Cahaya mentari mendadak terasa lebih menyilaukan. "Jangan-jangan sebetulnya kamu kangen dan enggak mau jauh-jauh mumpung aku di sini. Buktinya, tuh topi masih dipakai aja. Pengingat ke aku, ya?"
Perlahan aku menyentuh lidah topi baseball-ku. Pantai Parangtritis di Yogyakarta jadi saksi pindah-tangannya topi ini. Huh, kepedean. Suka sebuah topi bukan berarti suka pada pemberinya, kan? "Kayaknya aku menyesal ketemu Kakak tanpa River."
"Si Rivai ngizinin kok. Tadi aku nelepon dia. Rivai bilang, dia percaya kamu bisa jaga diri, dan percaya kalau aku enggak berengsek. Dia malah minta aku jaga kamu."
Ingin kupatahkan kacamata River. Sayang jauh. "Mau apa di rumahku?"
"Kenalan sama ortumu. Mau sekalian ngelamar."
Sip, orang ini boleh dipukul.
Kutimpuk kepala Kak Delon pakai tas selempang. Topinya bergeser. Pisau lipat yang menggantung di sisi tasku berhasil mengenai pipinya. Aku celingak-celinguk. Orang-orang di sekitar kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tidak ada saksi mata.
Tiba-tiba, Kak Delon tergelak. Kuabaikan. Dia bisa jalan sendiri.
"Sori, sori. Bercanda doang, kok." Dia sudah mengejar sisiku lagi; aku lupa kakinya panjang. Diketuknya ujung topiku. "Aku mau numpang salat. Sekalian nitip carrier di sana, kuambil lagi nanti sore atau malam."
Aku mendengkus, berjalan lebih cepat. "Ke Bandung buat menggelandang?"
"Tempatku nginap enggak aman, beneran. Aku lebih percaya kamu daripada orang di sana—oh, tunggu bentar."
Kali ini aku berhenti. Berbalik. Kak Delon sedang memeriksa ponsel. Tangan menaungi layar. Alisnya bertaut. Entah karena silau atau isi pesan.
Kuperiksa ponselku juga. Ada pesan dari River.
'Take care you two. Jangan lupa jaga rumah keduaku.'
You two, ya? Dia beneran udah tahu rupanya. Aku mengetik balasan. Aku aja enggak tahu yang mana tepatnya rumah keduamu, Riv.
Jawaban muncul lagi: Kali ini bukan janji mentah: I'll be back, Rein.
Responsku cuma menganga. Aku akan kembali? Kapan? River berjanji pada papanya: enggak akan berjanji pada siapa pun untuk kembali ke Bandung lagi. Lalu ....
"Udah. Yuk?" Kak Delon mendekat. Tapi sekarang ada gumpalan awan yang baru datang di wajahnya. Padahal sebelumnya terang benderang seperti langit sekarang.
"Ada apa, Kak?"
Dia tersenyum lebar. Usilnya pasti kumat. "Cie perhatian. Marahnya udahan nih?"
Aku menyesal peduliin orang ini.
----------------
To be continued ....
~ Bandung, 5 Nov 2022 ~
KAMU SEDANG MEMBACA
HiStory
Teen FictionTravel Series #3 HiStory "All I Need is A Home." Menurut Rein, kedatangan Delon ke Bandung semestinya jadi pengalaman baru bagi mahasiswa gaje asal Yogyakarta itu. Tapi orang asing mana sih yang kenal kota Bandung sampai ke pengalaman-pengalaman sep...