Tiga aturan utama:
Jangan ambil apa pun kecuali kenangan dan foto.
Jangan tinggalkan apa pun kecuali jejak kaki.
Jangan bunuh apa pun kecuali waktu.
----------
Bandung Barat, Jawa Barat.
08.28 WIB
Jalur menuju Curug Layung berupa undakan tanah cokelat yang saking keringnya, malah bikin nyaris terpeleset beberapa kali. Pohon pinus di kiri-kanan. Label tempat wisata dan area camp ramah keluarga menempel bersama lingkungan ini.
Langkahku berhenti sejenak. Bukit di seberang terlihat tenang, bersisian dengan tebing pasir di sisi tempatku berdiri. Pepohonan pinus di antara pepohonan pinus lainnya. Saling tumpuk, bergemerisik ketika angin bertiup. Membuatku ingat keberadaan angin; matahari membuat keringat mengucur dan melupakan angin.
Satu-satunya yang mengganggu pemandangan adalah objek foto berupa hati besar di salah satu sudut tebing.
"Ada apa?"
"Aku bukan orang yang setuju dengan objek foto tambahan." Aku melanjutkan berjalan, meninggalkan Kak Delon yang tadi bertanya. Biarkan dia membuka jaket dulu.
Tapi Kak Delon selalu bisa mengejar. "Orang-orang itu bukan pencinta alam pastinya. Mereka meninggalkan benda selain jejak kaki."
"Tiga aturan pencinta alam." Aku memandang Kak Delon. "Jadi, Kakak bukan cuma traveller atau backpacker doang, tapi pencinta alam juga?"
"Ya iyalah." Kak Delon meregangkan tubuh. Lengan kausnya tersingkap sedikit. Bagian atas lengannya—yang selama ini tersembunyi di balik lengan kaus—memiliki warna kulit yang lebih cerah. Ah. Kukira kulitnya pada dasarnya sewarna sawo matang. Bukan lebih terang lagi.
Aku menggeleng-geleng. Waktunya fokus.
Kami setengah berlari saat menuruni gundukan tanah. Area camp yang datar dan luas terpampang. Sedikit lagi. Tinggal melintasi area ini dan membelok ke kanan di jalan setapak menurun.
Kulirik Kak Delon. Mencari jejak matahari di kulitnya tadi. Bahkan sampai di lokasi curug pun, jejak itu belum kelihatan lagi.
"Ngelihatin mulu nih." Dia tersenyum. "Aku lebih menarik daripada curug-nya?"
Kuputar bola mata. "Wah, wah. Enggak sopan sekali aku."
"Aku enggak keberatan dilihatin lho."
Aku tertegun. Baru kali ini aku enggak ditegur oleh orang yang kupandangi.
"Yang menarik perhatian apanya?" Kak Delon beringsut mendekat. "Dari aku, maksudku, sampai kamu lihatin aku kayak gitu."
"Kulit belang." Kutunjuk lengannya. "Tapi sekarang enggak kelihatan lagi."
Kak Delon memandangi bagian yang kutunjuk. Mengangkat sedikit lengan kausnya. Mendadak dia tergelak. "Udah ada dari dulu. Kalau kata Eran sih, kulitku tambah belang gara-gara panas-panasan di Flores."
Aku tertegun. Kak Eran. Sudah lama rasanya aku enggak dengar Kak Delon menyebut nama itu. Tapi ... melihat entengnya Kak Delon menyebut nama Kak Eran, kayaknya bukan Kak Eran yang dimaksud dalam obrolan Kak Delon dari kemarin.
Oh, ya. Tadi dia bilang apa?
"Kakak pernah ke Flores? Kelimutu?"
Dia menggeleng. "Waktu itu harus pilih antara Wae Rebo[1] dan Kelimutu[2]. Aku pilih Wae Rebo. Itu juga karena sekalian habis sailing ke Pulau Komodo."
"Wae Rebo?" Suaraku nyaris berteriak. Terlalu antusias. Ya Tuhan.
"Kamu pernah ke sana?"
"Belum. Tapi pengin ...."
"Kamu harus ke sana, Rein. Percaya deh, kamu bakal jatuh cinta sama tempatnya." Dia tersenyum lebar. Bahagia tanpa beban. "Enaknya sih, kalau kamu punya kenalan di sana. Makanannya mahal banget. Penginapannya juga. Penginapan yang kalau di Bali atau Lombok bisa dapat 150 ribu, malah jadi 350-an di Kupang. Aku enggak ada kenalan di sana, tapi berangkat berdua dari Yogyakarta bareng kawan. Lebih murah karena bisa patungan. Enaknya, tempat wisata di sana murah. Kayak di Bintan."
Catat itu, Kepalaku. "Kalau transportasi?"
Kak Delon enggak langsung menjawab. Memilih melebarkan senyum sebagai respons pertama. "Enggak ada. Harus sewa motor."
"Berapaan sewanya?"
"Seratus ribu per hari. Tapi kalau kamu bilang mau bawa motor sewaan itu ke Wae Rebo, dijamin deh, tukang sewanya bilang enggak ada motor nganggur."
Dia terkekeh kecil. Entah kenapa aku ikut tersenyum.
"Track-nya ajaib?"
"Banget." Gelaknya pecah. "Ke arah sana kan mesti pake motor dulu, baru tracking jalan kaki. Sepanjang perjalanan itu, tanah merah semua. Apalagi pas aku ke sana, habis hujan deras. Becek, licin. Kacau deh. Motor sewaan kami sampai kempes bannya. Akhirnya isi angin, kempes lagi. Gitu aja terus. Sampai kawanku capek. Bannya diisi, terus langsung dibalikin ke tukang sewanya."
"Katanya enggak ada sewa motor kalau ke Wae Rebo."
Kak Delon terdiam. Dia mendekatiku. Kali ini aku enggak menjauh.
Dia berbisik, "Setelah capek ditolak tukang sewa motor, aku mutusin buat enggak bilang kalau motornya dibawa ke Wae Rebo."
Sesat.
Tapi, ajaran sesat tetap saja ilmu. "Di Wae Rebo, Kakak sampai menginap?"
"Iyalah. Capek, tahu. Rupanya, nginap di sana juga bayar. Mesti pake duit cash, lagi. Kena berapa ya, waktu itu. Lima ratus ribu ada, kayaknya."
Aku ternganga. Lima ratus ribu?
Tawa Kak Delon meledak. Perlahan senyumku ikut mengembang.
Dalam satu saat, tidak ada suara selain gemerisik pohon, cuitan burung, dan gemuruh air. Hening yang menenangkan. Sesaat kemudian, ada musik yang terdengar. Tanda notifikasi. Ponsel Kak Delon.
Saat Kak Delon melihat layar ponsel, dia menelan ludah. Lalu melirikku. Ekspresinya kaku.
"Siapa, Kak?"
Kak Delon menggeleng. Ponselnya disimpan kembali. "Enggak apa. Bukan sesuatu yang urgent pastinya."
Hawanya berubah. Walaupun Kak Delon kembali tertawa-tawa, aku tahu ada apa-apa. "Aku boleh ngajuin pertanyaan buat Kakak, kan?"
"Kenapa enggak?" Dia tergelak.
"Kenapa Bandung?" Aku mencari arah matanya. Mencari tanda-tanda kebohongan. "Kurasa Kakak bukan orang yang sengaja ke Bandung cuma buat ... ini." Tidak. Ini kurang untuk disebut jalan-jalan, travelling, backpacking, atau apa pun itu.
Gelaknya berhenti. Tergantikan oleh senyum usil. Dia balas memandangiku. "Itu bagian dari tebak-tebakan kita, Rein."
Entah kenapa aku enggak kaget dengan jawaban itu. Tapi ... ada keganjilan yang berdiam di udara. Membuatku sesak tanpa alasan dan kebingungan.
Kayak sedang memutar boneka Jack in The Box.
Siapa pun tahu akan dikagetkan—dan kadang dibuat dongkol—oleh Jack yang muncul dari kotak. Tapi setelah dikagetkan pun, ada yang tetap mengganjal. Setidaknya, buatku.
Pantesan River menyebut orang ini Jack in The Box.
------------
To be continued ....
-----------
Footnote:
[1] Wae Rebo: Sebuah desa adat terpencil dan misterius di Manggarai, NTT.
[2] Kelimutu: Gunung di Pulau Flores, memiliki tiga danau berbeda warna yang jadi ciri khasnya.
~ Bandung, 15 Nov 2022 ~
KAMU SEDANG MEMBACA
HiStory
Teen FictionTravel Series #3 HiStory "All I Need is A Home." Menurut Rein, kedatangan Delon ke Bandung semestinya jadi pengalaman baru bagi mahasiswa gaje asal Yogyakarta itu. Tapi orang asing mana sih yang kenal kota Bandung sampai ke pengalaman-pengalaman sep...