14. Babat Pengakuan

11 2 4
                                    

Action speaks louder.

Gimana mau membuat aksi berbicara kalau "beraksi" dan "berbicara" bukan hal yang mudah buat diri sendiri?

----------

Bandung, Jawa Barat

23.29 WIB

Bawa saja, but keep your mouth silent. Aku sudah di C'Mar; warungnya baru buka.

Itu balasan dari River. Karena sekarang aku duduk sendirian di deret belakang taksi online, ini waktu terbaik untuk membalas macam-macam pada River. Seperti bertanya masalah apa yang dia bawa kali ini dan blablabla lainnya.

Tapi, semua itu bisa menunggu.

Aku harus mengurus cowok di kursi penumpang depan dulu. Dia sibuk melirikku. Sesekali pandangan kami bertemu, kemudian dia tersenyum lebar dan mengedipkan mata iseng. Hilang sudah cowok kuyu yang basah kuyup. Kalau enggak ingat ada sopir yang cuma diam saja selama ini, mungkin kepala Kak Delon sudah kuketuk.

Kupandangi jalanan. Pukul sebelas malam. Kami sempat terjebak macet di daerah atas tadi. Sekarang, kami sudah melewati stasiun. Tidak lama lagi sampai.

Jalanan besar dan biasanya macet seperti jalan di depan Pasar Baru sudah mulai sepi. Toko-toko sudah gelap dan rolling door mereka digembok. Mobil lain sesekali menyalip dengan kecepatan tinggi. Beberapa wanita kemungkinan-PSK berjalan di trotoar sambil tertawa-tawa. 

Warung C'Mar terletak dekat Jalan Braga. Lokasi strategis. Braga punya banyak bar. Orang-orang yang baru pulang dari bar sering mencari makanan di C'Mar ini. Yah, aku rasa C'Mar cuma penulisan keren untuk Ceu Mar. 

Oh, ya, soal bar, tahu apa sapaan River saat kami menghampiri mejanya?

"Thanks sudah datang, aku belangau di sini. Kalian nge-date kelamaan." Nge-date. Padahal ini rencana dia juga. Kemudian River menutup jurnalnya. "Aku dikira anak di bawah umur yang baru ditolak masuk bar. Ada yang yang ngira aku menunggui teman yang mabuk-mabukan. Yang terakhir, ada PSK godain aku dan bilang aku ocin[1] awet muda sekaligus berdompet tebal. Sayang kenyataan enggak deal dengan itu."

Bukan sapaan terbaik yang pernah kudengar. Aku mengamini saja bagian ocin dompet tebal. Tapi Kak Delon sudah menempeleng kepala River. Kuabaikan saja, duduk di seberang River. 

Cowok kadang perlu memukul sesuatu supaya tetap waras. Kadang tembok. Kadang kepala temannya sendiri. Dan mereka bisa melakukannya tanpa dibilang "kamu harusnya anggun, lemah lembut". Huh. Seharusnya aku lahir sebagai cowok saja, bukan cewek.

"Katamu enggak bakalan ikut-ikutan." Kak Delon ikut duduk di sebelahku, masih memandang River sambil mengernyit.

River mengangkat bahu. "Will anything get better kalau aku turun tangan untuk yang ini?" 

"Banyak, Rivaaai! Aku jadi ada temen ke RS. Aku enggak sesabar kamu!"

Di balik kacamatanya, River mengedipkan mata pelan. Kelihatan mengantuk. "Rein?" Aku langsung mengangkat alis. River mengangkat dua jari tanda peace. "Kan Rein dari awal memang tahu kedatangan Kakak. Atau Kak Rangga?"

Aku berdiri, memotong drama mereka berdua. "Kalian mau makan?" Sia-sia saja menunggu pembicaraan selesai. "Kalau mau, kuambilkan sekalian."

River mengacungkan tangan. "Ba—"

"Babat, kan? Aku hafal."

Dia menyeringai. "Nasinya jangan banyak-banyak. Nanti uangnya kuganti."

"Sesekali aku traktir kamu. Nah, Kak Delon?"

Kak Delon menggeleng. "Masih kenyang. Aku comot punya Rivai aja buat cobain."

"Oke." Aku bersiap melenggang pergi. "Tapi risiko ditanggung pemenang. Comot babatnya River bikin tangan hilang. Dia galak kalau urusan makan babat."

"Gila, nyeremin bener si Rivai."

River cuma tergelak. 

***

Sejujurnya, enggak disuruh pun, babat jadi pilihan pertamaku untuk teman makan nasi di C'Mar. Apalagi untuk River.

Kali pertama ke sini, aku dan River menemani Ayah ke dokter di daerah Stasiun Hall. River melihat mobil keluarga kami keluar rumah. Dia menyelinap, cekikikan sambil bilang, "Ayah, Bunda, aku boleh ikut?"

Usiaku tujuh saat itu. Makan tengah malam bukan kebiasaan yang ditanamkan Bunda pada perutku, apalagi Keira kecil. Tapi River bukan anak Bunda—secara harfiah.

Jadi, dia bahagia diajak Ayah makan, sementara aku memilih makan sepiring berdua dengan River. Ayah mengambilkan babat di piring kami—saat itu River yang memegangnya. Momen perdana River mengetahui kalau lapisan lambung sapi yang bentuknya kayak handuk itu bisa bikin ketagihan.

Ending malam itu, Tante Arin mengomel karena anak laki-laki semata wayangnya raib sementara suaminya pergi dinas. Bunda yang menenangkan Tante Arin, membujuk supaya River boleh ikut lagi.

Alhasil, tiap Ayah pergi ke dokter, River akan ikut. Demi babat. Menyusul Ayah yang sedang mengantre makanan bersamaku. Meninggalkan meja kami. Padahal, perjanjiannya, aku mengambilkan makanan kami berdua, dan River menunggui meja biar enggak dipakai orang lain. Lalu River dengan seringai bahagia akan berkata,

"Treat's on me."

Aku berbalik, bersama kedua piring di satu tangan, seperti uda nasi padang. River. "Kamu bikin aku ngerasa de javu, Riv."

"Sorry for that." Dia mengambil salah satu piring dariku sambil tergelak. "Hari ini melelahkan?"

Jawabanku cuma kedikan bahu. "Aku masih bingung."

"Kak Delon?"

"Ya iyalah. Memangnya soal apa lagi?"

"Aku." River tercengir. Bergerak menyusuri antrean sambil memandangi satu per satu makanan di meja prasmanan. "Kamu belum tahu alasan kedatanganku."

"Jadi, aku boleh ngajuin pertanyaan soal itu?"

"Yeah. You may ask 'why' question. Atau kamu enggak tertarik dengan itu?"

Kadang kupikir ada banyak hal yang enggak perlu alasan berbelit. Enggak perlu penjelasan "panjang kali lebar sama dengan lega". Kayak alasan kami suka babat di C'Mar, yaitu "enak". Kayak alasan aku berusaha enggak bertanya, yaitu takut di-PHP. "Kalau aku tanya, emangnya kamu bakal jelasin? Enggak kesusahan kayak biasanya?"

"Enggak." Dia menarik lengan bajuku dengan sebelah tangan sementara tangan satunya memegang piring berisi nasi dan tumisan babat. "Karena ada yang bakal menjelaskan untukku."

Dari arah yang dipandangi River, aku tahu siapa yang dimaksudnya.

Kak Delon.

Aku mendengkus, tertawa getir. "Aku bakal ketemu badai lagi, ya, Riv?"

River tersenyum sambil memandangku. Senyum yang selalu mampu melunakkan ototku yang tegang. "Terobos saja badainya. Just like you used to do. And you're not alone. Aku di sisimu, and I'll keep you save. Kita selalu melewati badai itu, dan kita selamat. Tambah satu penumpang lagi pada perahu kita enggak akan jadi masalah besar, Rein."

Yah, semoga perjalanan ini akan menyenangkan. Setimpal dengan risikonya.

"Hey, come on." River menepuk ringan pipiku. Menarik tanganku—alih-alih di lengan baju seperti biasa. Rasanya ... ini seperti dulu. Ketika dia menarikku karena aku malah jalan semauku ke meja orang lain. "Ayo."

Baiklah. Apa salahnya jadianak tujuh tahun selama beberapa menit?

-----------

To be continued ....

-----------

Footnote:

[1] Ocin: Singkatan dari Orang Cina.

~ Bandung, 11 Desember 2022

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang