Tuhan ciptain aku mata. Tuhan ciptain dia mata.
Dua orang punya mata yang berbeda, makanya dunia yang dilihatnya berbeda.
Bahkan enggak ada jaminan aku dan dia melihat warna yang sama.
----------
Bandung, Jawa Barat
22.12 WIB
Hanum mau ke arah Jalan Cihampelas. Kakaknya setuju. Pendapat si bungsu enggak dihitung karena dia langsung tertidur setelah kugendong.
Mereka berdua berjalan bergandengan tangan di depanku. Enggak ada keluhan. Enggak ada pertengkaran. Cuma Hanum yang berceloteh sementara kakaknya mengangguk sesekali.
Atau, belum berantem.
Begitu kami sampai di Cihampelas, mereka berdua berdebat ke mana kami harus pergi. Maher mau berjalan-jalan saja, sementara Hanum pengin makan. Maher berbisik sesuatu pada Hanum, tapi Hanum malah mengomel dan menangis.
"Hanum," panggilku sambil berjongkok di sebelah gadis kecil itu. Oh, lututku, bertahanlah. Jangan sampai terjungkal sambil menggendong orang lain. Enggak lucu kalau sampai terjadi. "Pelan-pelan ngomongnya. Sini, bilang Kakak, Hanum maunya apa?"
Anak itu berhenti menangis. Tapi dia juga enggak bicara. Rasanya kayak melihat River bungkam. Atau Kak Delon lesu. Artinya cuma satu. Ada yang salah.
Ya, tapi Hanum anak kecil. Sebentar menangis, sebentar lagi sudah tertawa. Sekarang, dia cekikikan melihatku. Kemudian tertegun sendiri sambil meraba perut. Oh, Tuhan.
Aku melihat sekeliling. Maher hilang. Cepat-cepat aku berdiri lagi. Padahal Maher punya tampang mustahil-berulah. Ke mana dia?
"Aa'-mu mana?" tanyaku pada Hanum. Dia menggeleng. Aih. Anak hilang sungguhan. Malam-malam, lagi.
Untung aku belum sempat berkeliling, karena dalam sekejap mata, Maher kembali dengan sebuah plastik. Dia berbisik sesuatu pada adiknya, memindahkan plastik ke tangan Hanum, dibalas dengan bisikan dan cekikikan. Lalu Maher mendatangiku. "Maaf, Kak. Aku enggak beliin cilok buat Kakak. Uangku lima ribu. Sisanya ketinggalan. Cuma buat Hanum doang."
Aw. Pantas saja Tuhan memberinya dua adik. Tuhan tahu dia bisa menjaga keduanya dengan baik. "Tenang aja. Tapi buat kamu sendiri?"
Dia tertegun, lalu menggaruk kepalanya. Melengos dariku. Aku baru tahu ada anak yang enggak enakan sampai begini.
Kukeluarkan uang dari saku. Lima puluh ribuan. Uang urgent kalau enggak ada ongkos. Ya sudahlah. Untuk bocah-bocah ini. "Kakak minta tolong kamu beli tiga lagi, boleh? Lima ribuan atau sepuluh ribuan, sama saja. Yang satu dikasih saus kacang. Dua lagi sesuai kemauan kamu dan Anan."
"Aku dan Anan?" Tapi dia enggak menunggu jawabanku. Langsung pergi dengan uang di tangan. Kembalidengan sebuah kresek, uang kembalian yang terlipat, dan muka bingung.
Kuambil satu bungkus—berkuah kacang—dari kresek, menyimpannya di saku, memberi sisa bungkusan pada Maher. "Satu buat kamu. Satu buat Anan. Simpan kembaliannya buat kamu, anggap aja jatah Hanum tadi. Nanti panasin punya Anan kalau dia mau makan. Masukin ke dalam mangkuk, terus dikukus lagi."
Maher cuma manggut-manggut, lalu membisikkan terima kasih dan mulai makan.
Kulihat sekeliling. Toko-toko mulai tutup. "Nonton jalan layang dari simpang aja, yuk?" Di sana pasti akan tetap ramai sampai setidaknya satu jam ke depan.
Hanum yang dari tadi makan bersorak duluan. Maher juga mengangguk. Pekerjaanku lebih mudah. Jalan menurun lebih baik daripada disuruh menanjak lagi.
Ada taman di simpang. Tanpa kursi, tapi ada tugu berbentuk kubus abstrak yang dipagari semen setinggi mata kaki. Kami duduk di pagar itu. Aku memindahkan Anan ke pangkuan sebelum duduk. Hanum bersandar di bahu kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HiStory
Genç KurguTravel Series #3 HiStory "All I Need is A Home." Menurut Rein, kedatangan Delon ke Bandung semestinya jadi pengalaman baru bagi mahasiswa gaje asal Yogyakarta itu. Tapi orang asing mana sih yang kenal kota Bandung sampai ke pengalaman-pengalaman sep...