4. Penyihir dan Permintaannya

14 3 1
                                    

Kamu selalu bisa berada di satu tempat pada dua waktu yang berbeda.

Tapi enggak akan bisa berada di dua tempat berbeda pada satu waktu.

----------

Bandung, Jawa Barat.

06.32 WIB

"Jeng jeng! Gimana menurut kamu?"

Tunggu. Kupejamkan mata sesaat. Berpikir sebentar. Kak Delon datang ke rumah di pagi hari bersama carrier-nya. Oke, itu bagian dari perjanjian kami kemarin.

Tapi ... bersama skateboard?

"Skateboard siapa itu?"

"Punyaku." Kak Delon tersenyum lebar. "Sekarang ia punyamu."

Papan skateboard berpindah tangan. Tanganku menelusuri tubuh papan.

Bagian bawah papan dilukisi sulur hijau berduri dan bunga biru kecil. Persis di tengah papan, baret bertumpukan. Papan yang penuh pengalaman. "Gimana Kakak bisa bawa ini?"

"Aku kan udah bilang, Rein. Papanku bisa diteleportasiin kalau buat kamu."

Untuk sesaat, aku kehilangan kata-kata. Ada banyak hal yang tetap mengejutkan meski bukan hal baru lagi. 

Aku percaya sihir, dan ini salah satunya. Bukan teleportasi pada papan skateboard. Sihir dalam kata-kata Kak Delon, maksudku. Terasa lebih kuat daripada sihir yang dibawa ketenangan dan tawa River.

Sihir tidak bisa dipercaya. Batas antara nyata dan ilusi menjadi bias. Sihir menakjubkan karena itu. Makanya, menurut orang super logis tanpa imajinasi, sihir mustahil ada di dunia nyata.

Karena itu, ada satu hal yang kutahu:

Kak Delon memang bisa dipercaya; aku tidak menyalahkan River yang memercayai Kak Delon.

Tapi ada bagian darinya yang tidak bisa kupercaya.

Dari senyum yang mendadak mengembang di wajahnya, kurasa Kak Delon juga tahu apa isi kepalaku.

Kutunjuk bagian bawah papan. "Ini bunga apa?"

"Forget me not." Kak Delon tercengir. "Bunga kesukaanku."

Aku tertegun. Forget-me-not. Bunga asal luar negeri dengan sejarah penamaan yang ... cukup memorable. Tentang seorang pria yang harus meninggalkan istrinya; dia mengatakan forget me not sambil memberi bunga ini sebagai tanda perpisahan. Tanda kesetiaan. Tanda ... ketakutan?

Jadi, aslinya Kak Delon bukan orang yang absurd. Tapi karena forget me not—jangan lupakan aku—dia menjadi sosok yang sekarang. Enggak pengin dilupakan.

Padahal mestinya Kak Delon tenang aja. Dia bukan orang yang gampang dilupain.

"Bentar. Aku kabarin Bunda dulu."

"Oke," kata Kak Delon. "Tapi tunggu dulu." Langkahku terhenti lagi. "Ayahmu mana sih?"

Huh. Kak Delon pengin cepat-cepat mati? "Nanti sore pulang dari Bogor."

Dia cuma tersenyum.

***

"Jadi, Kak," kataku saat motor kembali melaju di sela kemacetan, "beneran Curug Layung?"

Kak Delon tergelak. Artinya, Kak Delon juga tahu keadaan Curug Layung.

Bukan curug kesukaanku. Keran air di rumah lebih deras ketimbang curug itu. Airnya jernih—air Curug Omas sewarna susu cokelat. "Kayak enggak ada curug lain aja."

"Sengaja. Lagi pengin nginget cewek yang dulu heboh pas ke sana karena kepeleset pasir mulu." 

Bahasa simpelnya: Mau nostalgia. Dulu aku pernah ke sana bareng cewek.

Kenalan Kak Delon (yang kutahu) dari Bandung cuma River, aku, Kak Rangga, dan seorang teman yang diceritain kemarin. Tapi masa' sih, yang Kak Delon bilang sering kabur ke Taman Malabar itu cewek? Enggak cocok banget. "Cewek siapa sih?"

"Cie cemburu nih?" Dia tertawa. Kalau enggak ingat lagi di jalan, pasti sudah kupukul helmnya.

Aku melengos, melirik jam tangan. Pukul 07.28. Peak hour. Perjalanan masih jauh. 

Motor berbelok ke Jalan Sersan Bajuri. Ada rumah Pak B.J. Habibie di sini. Presiden ketiga Indonesia. Di rumah, alih-alih foto resmi, Bunda memajang foto dirinya sendiri bersama Pak Habibie.

Salah satu saudara Bunda bekerja untuk suami dari cucunya Pak B.J. Habibie (memusingkan, aku tahu). Mereka bertemu di pernikahan keponakan sang mantan presiden. Bandung begitu kecil. Tawaku pecah. Kak Delon menepuk lututku. Mungkin takut aku kesurupan. 

Jalanan meliuk. Naik-turun, kiri-kanan. Khas daerah atas. Angin kencang. Masih ada tanjakan lain.

"Kamu pernah ke Curug Layung sebelumnya?"

Orang bisa ada di satu tempat yang sama pada waktu yang berbeda, tapi enggak bisa ada di dua tempat yang berbeda pada satu waktu yang sama. Jadi, kenapa enggak?

Dulu, saat camping di sini, malamku dipenuhi udara menusuk tengkuk dan suara meriam tentara. Lebih keras daripada suara di Ciwangun Indah Camp alias CIC, tetangga Curug Layung. Katanya, di dekat situ, ada tempat latihan militer menembakkan artileri mereka. "Pernah." 

"Kalau Puncak Artapela?"

Aku mengernyit. Enggak semua orang tahu Artapela. Bisa dibilang itu surga tersembunyi di daerah Pangalengan. "Negeri di atas awan. Ya, pernah. Dua kali via jalur ilegal."

"Hafal jalur?"

"Hafal."

Motor kami berbelok ke tanjakan terakhir. Jalanan mulus menghilang. Seingatku, tinggal susur jalan kerikil ini dan kami akan sampai di kawasan Curug Layung.

"Aku mau ke sana sebelum balik ke Yogyakarta." Suara Kak Delon setengah berteriak di antara bunyi kerikil yang beradu. "Ada orang yang mau kuajak ke sana. Jadi guide, ya, Rein. Full day aja, enggak full camp. Bisa?"

"Cewek yang tadi Kakak ceritain?"

Dia terdiam sesaat. Baru menjawab setelah kami sampai di parkiran area camp Curug Layung. Untuk ke curug-nya, kami harus melanjutkan dengan berjalan kaki ke dalam. Melewati gapura di sisi kiri depan. "Orang yang kuajak ini cowok. Kelihatannya sih, cuma kamu doang cewek di pendakian Artapela nanti."

Kuperhatikan wajah Kak Delon yang sekarang sibuk melepas helm. Kelihatan bersalah. Padahal dikelilingi cowok bukan hal baru. "Kalem aja. Udah biasa."

"Kayaknya kamu salah paham deh, Rein."

"Mau meralat?" Aku mulai berjalan ke arah gapura. Tapi masih sambil melihat Kak Delon.

Dia tersenyum. "Mau, tapi enggak sekarang."

--------------

Footnote:

[1] Daerah atas: sebutan untuk "daerah di lereng gunung".

--------------

To be continued ....

~ Bandung, 13 Nov 2022 ~

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang