9. Satu Pergi, Satu Datang

11 2 9
                                    

Seseorang tidak mudah digantikan.

Kalau mudah, namanya bukan orang. Tapi baju.

----------

Bandung, Jawa Barat

10.49 WIB

"Rein." Panggilan Kak Delon membuatku meliriknya lewat spion. Hanya sebelah bahunya yang terlihat. "Handphone aku di saku kanan jaket. Ada yang nelepon. Ambil. Enggak usah dijawab. Cukup lihat siapa orangnya."

Nada bicaranya serius. Bukan modus enggak jelas.

Kuraba saku jaketnya. Ketemu. Ponsel Kak Delon masih bergetar panjang. Motor melaju. Matahari menyorot terang, membuat layar ponsel enggak otomatis terlihat.

Mak Lampir.

Gila. Nama kontaknya gitu amat. Jadi penasaran kontakku dinamai apa.

"Mak Lampir." Jawabanku lebih seperti pertanyaan.

Kudengar Kak Delon berdecak. "Ya udah, pegang aja dulu handphone-nya. Tolong pesenin ojol, ya. Dari rumah kamu ke RS Hasan Sadikin. Pake handphone kamu juga boleh, aku bayar tunai. Kalau mau pakai punyaku, password-nya—"

"Stop. Aku pakai ponselku aja."

Dia tergelak keras. "Enggak kepo sama password-ku?"

"Enggak, makasih. Masih banyak kerjaan lain selain kepoin password." Meski aku malah sedikit lega dia bertanya begitu. Sedikit.

Sambil memesan ojek online, pikiranku berbisik banyak hal. Kak Delon kayaknya masih "waras" dengan menggodaku. Tapi aku yang ... takut.

Kak Delon ditelepon "Mak Lampir" dan berujung berdecak kesal. Enggak seperti biasa. Seperti telepon di Taman Malabar. Jadi, Mak Lampir juga yang meneleponnya saat itu?

Ke Rumah Sakit Hasan Sadikin. Daerah Cipaganti. Jauh. Dan dia sampai enggak bisa menunggu hingga tiba di rumahku. Ada hal urgent. Tapi siapa saja kenalannya di Bandung? Kak Rangga, kenalannya dan River dari komunitas backpacker?

Ojek pesanan tiba selisih beberapa detik dengan kami; kami lebih duluan. Kak Delon bilang pada sopir ojek untuk menunggu sebentar. Dia mengalungkan kunci motor ke leherku, berbisik, "Titip salam buat Bunda ya. Bilangin makasih. Makasih juga buat kamu," sebelum akhirnya ke luar pagar dan ... pergi.

Aku terdiam sebentar. Ada yang aneh. Ingin kuceritakan pada River, tapi rasanya kayak korban bullying yang berusaha melapor pada guru. Enggak salah, tapi apa yang bisa River lakuin dari sana?

Kuhela napas panjang. Akhirnya berjalan masuk kamar. Berbaring dan ... tertidur.

Aku terbangun. Tiga jam sudah berlalu. Azan zuhur terlewat. Aku cepat-cepat keluar kamar, bersiap salat. Setelah segar pasca wudu dan salat, baru aku sadar: rumah sepi. Hanya ada Bunda yang membaca buku di sofa. Tidak ada tanda-tanda suara Keira. "Bunda, Kei mana?"

Bunda cuma mengangkat wajah sekilas dari bukunya. "Pergi."

"Bareng Tria?" Biasanya sih gitu. Pergi sampai sore dengan partner in crime-nya yang tinggal di ujung jalan. Pulang-pulang, bajunya penuh lumpur, sepatu penuh tanah, wajah penuh coreng ala militer. Layang-layang penuh lubang akan ikut pulang bersamanya. Artinya Dwi mungkin datang (walau cuma sampai teras) untuk menjemput adiknya. Aku diam-diam menahan senyum.

"Enggak. Bunda yang minta dia beli gula merah. Mau bikin misro. Dia pergi bareng—"

"Assalamualaikum." Itu suara Keira dan .... Aku membeku. Itu adalah satu-satunya suara yang kutahu pernah mengucapkan assalamualaikum meski agamanya bukan Islam. Suara cowok yang pernah bilang bahwa orang Israel yang bukan muslim pun menggunakan assalamualaikum sebagai salam. Sehingga aku tidak perlu heran. Meski bagiku, dia hanya berusaha menghargai salam di keluargaku sekaligus agamaku.

Tapi seharusnya orang itu ada di Tanjung Pinang. Bukan di sini.

"Rein, kamu sudah bangun?" Suara itu lagi. Aku enggak berhalusinasi.

Perlahan aku berbalik. Dia sungguhan di sana. Berdiri di ambang pintu. Berupa siluet karena cahaya matahari, tapi aku tahu itu dia. Cowok ramping, cuma lebih tinggi beberapa senti dariku. Rambutnya yang berantakan ditiup angin dari luar. Lensa kacamatanya mengilat. Kemunculannya selalu terkesan (sok) dramatis di mataku.

Dia berjalan masuk. Siluet itu tergantikan oleh sosok yang familier. Seseorang yang kurindukan.

Celana kargo selutut. Kaus bermotif batik. Parka hitam tanpa lengan. Kalung gading yang baru pertama kali kulihat.

Ada senyum lebar di wajahnya. Senyuman itu makin lebar, matanya segaris di balik kacamata, dan dia bertanya, "Hey, did you miss me?"

Andai bisa memeluknya, jelas aku sudah melakukannya dari tadi. "Retoris banget, River."

-----------

To be continued ....

~ Bandung, 29 Nov 2022

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang