Kobaran Bandung Lautan Api sudah padam.
Dan dia datang.
Mengobarkan api yang lama terpendam.
----------
Bandung, Jawa Barat
14.33 WIB
Rivierro Arata. Sahabatku. Dulu tetanggaku. Pindah ke Tanjung Pinang empat tahun lalu, tanpa pamitan yang pantas, membawa ribuan masalah di bahunya.
Cowok ini jago dalam urusan "pembumihangusan" versinya sendiri demi mendapatkan keinginan yang dia pendam di balik senyum. Apinya tidak terlihat. Terkubur di dalam jiwa. Terkobar dalam setiap langkah. Diam-diam membakar apa yang menghalangi menjadi ... bunga. Dan padang rumput. Pada akhirnya, apa yang dia inginkan ada di genggaman.
Perlu waktu sepuluh tahun untuk menyadari itu. Yogyakarta jadi saksi saat River berkata: orang tua enggak punya hak untuk mengganggu anaknya dan untuk marah karena enggak diberi tahu. Orang tuanya bukan dia. Dia ya dia.
Baru kusadari, pandangan dia lebih "brutal" daripada aku. Dan aku bangga mengenalnya karena itu. Karena "brutal" dan "pembumihangusan" dalam kamus River entah kenapa punya definisi baik-baik.
Dia orang yang melakukan senrei[1] di depan sang papa supaya boleh mengundangku ke rumahnya. Tercapai.
Dia orang yang datang di hari ulang tahunku tanpa pemberitahuan, memintaku membantunya mencari seorang teman yang kabur, membujuk dengan mata yang meluluhkan hati dan perkataan I need you. Tercapai juga.
Jadi, keberadaannya di sini sekarang pasti dampak dari "pembumihangusan" lain.
Tapi, yang bisa kubaca darinya sekarang cuma "belum tidur dan belum mandi selama dua hari". Rambut acak-acakan. Lensa kacamata penuh jejak sidik jari. Mata lelah yang entah gimana tetap berbinar. Luka gores di pipi dan leher. Yah, kecuali baunya. Dia masih wangi parfum cowok bercampur hangus matahari.
"Kak Delon mana?" River mengikutiku ke kamar, padahal kamar untuknya sendiri berada tepat di seberang kamarku. Kepalanya melongok ke ruang tengah.
Aku menggeleng. "Tinggi badannya antara 170 sampai 175 senti. Rumahku cuma satu lantai. Kalau badan setinggi itu enggak kelihatan, artinya dia enggak di sini."
"Great. I'm late." River menggaruk lengannya. Ada bentol merah di sana. Pasti Keira mengajaknya melintasi bagian lapangan dengan rumput masih belum dicukur. "Dia berutang banyak hal padaku."
"Dia buru-buru. Tadi enggak mampir." Kupandangi pemandangan di luar jendela. Hanya ada motor Bunda yang tadi aku dan Kak Delon gunakan. Dan pagar. Dan beberapa pot sukulen. "Katanya ke Hasan Sadikin."
"Hasan Sadikin? Hospital?"
Aku mengangguk. Suara Kak Delon yang panik. Ekspresi enggak tega di matanya saat aku menyuruh dia pergi saja .... Bikin dilema. "Tadi di motor, dia nyuruh aku pesan ojek online ke Hasan Sadikin."
"Selain itu?" River duduk bersila, memandangku. "Apa yang pernah kamu dengar dari Kak Delon selama beberapa hari ini? Pilih saja yang paling penting."
Gombalannya? Kata-katanya sewaktu godain aku? Atau tebak-tebakan kami?
Alhasil, kuceritakan semua yang kuingat. Artinya: segala yang kudengar. Bukan hal susah. Dari perubahan ekspresi Kak Delon dalam bahasan tertentu sampai "persaudaraan" dengan Kak Eran. Dari jumlah telepon yang diterimanya ataupun yang ditolak, skateboard bergambar bunga forget-me-not, anak kabur yang sudah tiada, arti rumah, dan ... semuanya. Sampai tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
HiStory
Novela JuvenilTravel Series #3 HiStory "All I Need is A Home." Menurut Rein, kedatangan Delon ke Bandung semestinya jadi pengalaman baru bagi mahasiswa gaje asal Yogyakarta itu. Tapi orang asing mana sih yang kenal kota Bandung sampai ke pengalaman-pengalaman sep...