17. Bolang Si Bocah Hilang

6 2 4
                                    

Dalam perjalanan, yang paling diingat adalah kejadian aneh-aneh.

Walaupun itu berarti ketemu kembarannya seluncuran waterboom.

----------

Bandung, Jawa Barat

11.02 WIB

Jalanan menurun yang dibilang River di telepon tadi bikin menganga.

Bayangkan seluncuran waterboom yang terbuat dari semen, tanpa air, dan harus dilalui motor. Lebarnya sama persis. Cukup untuk satu motor. Kiri-kanannya adalah rumah, tebing, dan jurang. Enggak ada lahan kosong luas untuk ancang-ancang atau berjaga-jaga.

"Yakin ini jalannya, Ga?" Kak Delon memberiku isyarat untuk turun. Aku menurutinya. "Ngeri bukan main."

Kak Rangga dan River langsung tergelak. Kak Rangga menjawab sambil menuntun motor turun. "Ada jalan lain. Lebih waras. Adikmu yang ajak lewat sini. Aku mah hayu-hayu aja."

River langsung tercengir. Mengangkat dua jari tanda peace.

"Ada masalah hidup apa?" Aku mengedikkan dagu.

Jawabannya diawali gelak. "Kalau lewat Pasir Impun, enggak akan ada ceramah panjang lebar tadi. Enggak ada pemakaman Tionghoa di sana. So, masih mau memutar?"

Tapi, memutar malah lebih jauh. Sudah kepalang tanggung.

Aku dan River berjalan di belakang, jaga jarak dari kedua motor. Menonton mereka yang sibuk mengegas motor dengan hati-hati. Kalau kebablasan, bisa berujung lompat ke jurang atau menabrak rumah.

Puas menurun, jalan kecil itu membawa kami menanjak. Enggak securam sebelumnya. Yang ada di puncak tanjakan adalah jalanan paving block khas kompleks perumahan yang lebar. Aman.

Perjalanan bermotor dilanjutkan. Belokan demi belokan disusur. Jalanan paving block menghilang, digantikan aspal. Sebuah tanjakan. Lalu motor Kak Rangga berbelok ke arah gang kecil—lebih kecil daripada turunan edan tadi—yang diapit dua rumah.

"Gila, dah kayak bocah ilang aja, kita." kata Kak Delon selagi motor mengantre masuk gang. "Mesti di sini banget, ya, alamat yang sekarang?"

"Alamat siapa?"

"Nanti kamu kenalan aja. Ada hubungannya sama Aji. Tapi kita enggak akan ketemu Aji."

"Dia sudah enggak ada."

Cuma suara gas motor yang kedengarannya merespons aku. Jumlah rumah di ujung gang enggak lebih banyak dari jumlah jari tanganku. Saat berbelok ke kanan, satu-satunya belokan yang ada, Kak Delon baru menjawab, "Iya. Makanya berat buat ketemu Emak."

Ujung gang agak menurun, berhenti di sebuah rumah bata tanpa plester. Motor Kak Rangga sudah parkir di sana. River sedang mengetuk pintu teras.

"Rein," Kak Delon berhenti dulu sebelum motor melaju turun memasuki kawasan rumah, "sekarang, kamu tunggu di luar aja dulu sama Rivai. Si Rangga mah bebas."

Di luar. Padahal enggak ada kursi teras.

Jadi, aku betulan bocah hilang, ya. 

---------------

To be continued ....

---------------

~ Bandung, 12 Jan 2023

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang