POSTLUDE: Home and Family

12 1 0
                                    

It's not a fairytale, di mana kisah ditutup dengan and they lived happily ever after. Terutama, di bagian ever after.

Aku saksinya.

Aku menyaksikan Rein yang gemetaran saat menghadap Papa. Papa bukan naga yang mengeluarkan api dan Papa enggak menggigit kayak buaya. Tenang sajalah. Dasarnya saja muka Papa resting-bitch face. Nyeremin kalau enggak senyum.

Tapi Rein pucat. Kebingungan. Takut akan sesuatu yang tidak dia ketahui.

Memang, itu memiliki akhir yang melegakan. Bucat bisul, alias pecah bisul, kata Kak Rangga.

Rein akhirnya memahami alasan Papa. Setelah sepuluh tahun gadis itu takut sampai melarangku kucing-kucingan dalam pertemanan kami.

Papa menerima pertemanan aku dan Rein. Papa menerima kenyataan bahwa mayoritas penduduk negara ini beragama Islam. Papa menerima bahwa menjauh tidak selamanya berarti tidak menyakiti dan tidak menyakiti tidak selamanya mesti menjauh. Sembilan tahun menunggu, di tahun kelima belas aku hidup. Such a long time, but worth it.

Happy ending, tapi dengan deg-degan, lelah, dan penantian lama. Sepadan.

Happy ending, tapi ... di keadaan lain belum tentu.

Bagaimana dengan Deni?

***

Deni, dengan orang tuanya dan pilihan untuk kabur.

Bersyukurlah Rein termasuk cuek, jadi dia tidak kabur. Dia tidak seenaknya datang kemari dan mengabaikan permintaanku. Dia lebih ikhlas aku meninggalkannya daripada melawan orang tuaku, meski kepalaku terbuat dari berlian—lebih keras dari batu.

Tapi Deni bukan Rein.

Deni maju. Menantang badai. Menentang ibu dan ayahnya.

Aku jelas-jelas ada di sana, menahan diri, saat dia bicara dengan orang tuanya sekembalinya aku dari Bandung. Aku datang dengan niat bertanya kabar, tapi wajah lesunya saat mengusirku pulang membuat aku urung melakukan apa pun. Urung bertanya, urung melanjutkan, urung pergi.

Sembunyi di bawah bayang-bayang. Berbohong pada Deni dengan mengatakan kalimat pamit. Padahal aku bersembunyi di dalam malam, di sisi pintu, memandang gerbang rumah Deni yang terbuka.

What a big fat liar.

Aku ingin memukul Deni karena meneriaki orang tuanya seperti itu. Aku lelah memikirkan orang tua Deni, yang seolah menganggap Deni barang titipan yang bisa dengan seenaknya dipindah tangan. Dari orang tua ke tangan para "petinggi agama" seolah dia adalah barang terlarang yang harus disucikan, dan hanya akan diterima kembali ketika barang itu sudah bersih.

Agama itu individual. Bukan sesuatu yang pantas diikutcampuri, bahkan oleh orang tua, apalagi pada anak yang dianggap sudah "dewasa" karena sudah balig.

Yang akhirnya kulakukan adalah lari.

Lari sejauh mungkin dari sana, dari rumah Deni sambil menyembunyikan wajah. Lari sambil mengepalkan tangan, bertahan dari memukul apa pun, membiarkan telapak tanganku yang disakiti kukuku sendiri. Lari menerobos malam, menuju Jembatan Dompak.

Semua sakit itu kuteriakkan dari atas trotoar jembatan pada laut di bawah. Hanya itu yang bisa kulakukan tanpa menyakiti lebih banyak lagi.

Deni salah. Orang tuanya salah. Dan aku sadar aku salah karena menutup mata.

"Can you lend me an ear?" Aku bicara pada Rein di seberang panggilan telepon. Tubuhku bersandar pada tiang pembatas jembatan. Rein tidak akan bertanya kenapa suaraku serak, kenapa napasku tersengal, atau kenapa aku kabur dari masalah. She's Rein, and she won't do it.

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang