24. Jalur Ilegal Menuju Surga

4 1 0
                                    

Pencinta gunung biasanya punya setidaknya satu alasan kenapa jatuh cinta pada gunung.

Sebagai contoh:
Karena ikut-ikutan, lalu kebablasan.

Atau, karena gunung enggak pernah berkhianat.

----------

Pangalengan, Jawa Barat

06.27 WIB

Begitu turun dari motor, aku langsung meregangkan tubuh. Sudah lama enggak ke Pangalengan, rupanya perutku enggak syok dengan jalanan berkelok. Kulirik samping. Motor Kak Rangga merapat. Dua kali kami terpisah. Yang pertama berujung teleponku berdering, yang kedua ... bahkan Kak Delon enggak sadar kami terpisah.

Kubuka jaket. Kak Delon dan Kak Rangga melakukan hal yang sama. Walaupun perjalanan muncak di Artapela penuh angin dan rintik kabut, jaket adalah pantangan. Sekalinya berkeringat, angin dingin sepelan apa pun akan terasa seperti embusan maut.

River menolak membuka jaket. Setidaknya, sekarang. 

Penampilannya mirip manusia yang selama ini tinggal di Merkurius. Jaket, sorban di leher (parahnya, ini enggak cocok dengan mata sipit River), celana kargo panjang, dan sepatu hiking kebanggaan yang dekil; kelihatannya sudah menemani dia ke mana-mana. Berbanding terbalik dengan Kak Rangga. Kaus lengan pendek, celana pendek, dan sandal gunung.

"Rivai yang paling tahu keadaan badannya."

"Aku tahu, Kak Delon."

"Kamu menahan omelan itu ke dia."

"River selalu tahu itu."

Motor disimpan di rumah warga terdekat. Dekat dalam artian lima belokan menanjak di jalan berlumpur. Aku sudah memperingatkan para teman seperjalanan kali ini. Mereka terima.

Yah, mereka enggak akan kesulitan berjalan setengah jam ke titik mulai pendakian.

Jalur Artapela yang kami akan lalui bisa dibilang jalur ilegal. Bahasa halusnya: jalur petani. Ada yang bilang, namanya Jalur Seven Field atau Jalur Pangalengan.

Tidak ada pos. Kesulitan cari tempat istirahat. Enggak perlu izin. Lebih menanjak. Tapi punya waktu-tempuh-sampai-puncak yang lebih manusiawi ketimbang jalur legal.

Titik mulai pendakian sudah terlihat: bangunan yang dipagari kawat yang menjadikan jalan ini buntu. Kami memandang ke samping. Mendongak. Hutan pinus tinggi menutupi pemandangan. Ada satu jalur tanah menanjak yang menyelinap di sana.

"Di sana," kataku.

Sebagai respons, Kak Delon saling sikut dengan Kak Rangga. River tercengir.

Aku sendiri bisa merasakan kalau jantungku lebih berdebar. Kepalaku terasa dipompa. Euforia lama. Sebelah tanganku beralih pada golok yang tergantung di ikat pinggang. Satunya lagi memperbaiki posisi topi. Ransel di punggung juga sudah siap.

"Siap?"

Acungan jempol tiga orang sudah lebih dari cukup.

***

Awal dan pertengahan penempuhan, kami melewati hutan. Jalur landai, penuh genangan air. Tapi hanya sebentar. Enggak sampai lima belas menit, hutan itu berhenti. Kiri-kanan terhalang semak, membentuk satu jalur menanjak. Tanah makin becek. Kayak karamel. Cokelat dan lengket.

Kak Rangga memutuskan jalan duluan. Kubiarkan. Titik yang dipijak Kak Rangga bisa dijadikan patokan aman-atau-tidak si pijakan itu. 

Yah, walau itu berarti Kak Rangga penuh lumpur. Jangankan sepatu, tanah sudah menempeli betisnya sampai lutut. 

Aku dan Kak Delon cuma kotor di sepatu. River yang santai di paling belakang jelas lebih bersih. Cuma garis sol sepatunya yang berantakan.

Dulu, aku pernah dipesan. Ada tiga jenis orang yang bisa tetap bersih melewati jalur begini:

1. Orang yang tenang.

2. Orang yang nekat dan spontan.

3. Orang yang terbiasa.

Aku jenis ketiga. River jenis pertama. Jenis kedua biasanya untung-untungan. Kalau enggak berantakan banget, pasti bersih banget.

"Rein." Panggilan River membuatku berbalik. Dia menunjuk situ[1] di sisi kanan jalur. Tersembunyi di balik semak. Jaraknya sekitar 100-200 meter dari sini, tanpa jalur, hanya ada lereng menurun. "Kamu pernah ke sana?"

"Belum. Aku lupa nama situnya. Ada yang bilang itu tempat mandi bidadari."

River tercengir. Manggut-manggut. "Menarik."

***

Sekarang perkebunan mendominasi sisi kiri jalur. Sebagian besarnya ditanami wortel, kentang, dan kubis. River mengajak Kak Delon untuk naik ke sisi perkebunan, menghindari jalanan tanah yang lengket.

Gundukan tanah untuk bercocok tanam itu enggak semuanya sudah ditumbuhi. Beberapa hanya gundukan tanah kosong. Kebanyakan ditutupi plastik.

Ada petani juga yang sedang bekerja. Beberapa kali kami mengucapkan salam.

Sesekali, motor trail ikut melintas di jalur kami. Searah ataupun berlawanan, kami tetap harus menyingkir ke samping.

Jalanan tanah-karamel berhenti di sebuah undakan setinggi siku. Kak Rangga naik duluan. Lalu Kak Delon; dia tercengir sambil mengulurkan tangan padaku. Aku menggeleng. 

River pakai cara yang lebih absurd. Dia—yang dari tadi berjalan di jalur kecil antara perkebunan dan jalur tanah-karamel—memutuskan untuk langsung lompat. Aku melongo. Kak Rangga dan Kak Delon tertawa.

Tapi enggak lama, napas mereka ngos-ngosan. Padahal kami belum mulai berjalan lagi.

Kupandang sekeliling. Perkebunan sudah menghilang, digantikan oleh hutan pinus. Pepohonan tinggi tertutup kabut, tapi enggak ada pohon besar yang masih tegak. Satu pohon besar ditemukan tumbang di sisi jalur. Jalur menanjak, lebih kering, tapi tetap tanah lembab.

Yah, udara dingin dari kabut, tekanan udara yang menipis, dan perjalanan menanjak yang menunggu di depan memang enggak cocok buat menghabiskan terlalu banyak napas.

***

Ketika pepohonan dan kebun sudah tidak muncul lagi, aku tahu kami sudah mendekati puncak. Kami dikelilingi savana, sesekali lereng menurun yang berumput. Jalur lebih berkelok sebelum akhirnya kami melintasi savana luas.

Senyumku mengembang. Kak Delon sadar itu dan bertanya, "Udah mau sampai, ya?"

Aku mengangguk. Lalu menunjuk sebuah panggung kayu yang menjorok ke luar tebing. Di atasnya tergantung papan bertuliskan Artapela yang sudah rusak, sehingga hanya terbaca Ar La ela.

River berlari duluan ke arah sana. Lalu langkahnya terhenti. Tapi kepalanya tetap lurus ke depan.

Bisa kubayangkan apa yang dia lihat:

Hamparan kabut serupa awan di bawah tebing membentengi kami. Pemandangan yang ada hanya bukit sebelah yang lebih rendah dan kabut. Ketinggian dua-ribu-an MDPL berasa lima-ribu-sekian MDPL. Begitu hening. Tidak ada tanda-tanda kehidupan perkotaan. Hanya alam.

Selamat datang di negeri di atas awan.

"Selamat datang di Artapela."

--------------

To be continued ....

--------------

Footnote:

[1] Situ: Danau, telaga (bahasa Sunda)

~ Bandung, 23 Mar 2023

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang