18. Neokorteks

6 2 1
                                    

Hidup sudah banyak masalah.

Enggak usah ditambah masalah lagi.

Kayak kurang masalah aja.

----------

Bandung, Jawa Barat

11.49 WIB

Pemilik rumah bernama Bu Suciati, kata River.

Bu Suciati bisa dibilang semacam ibu kedua untuk Kak Delon. Artinya, ada semacam love/hate relationship yang terjalin juga. Seperti ibu-anak pada umumnya. Sayang sih sayang, tapi kadang pengin melawan. Karena tetap aja, senyambung-nyambungnya dua orang, pasti ada bedanya juga.

"Kak Delon enggak pengin melawan sebetulnya." River yang menjelaskan dari tadi. Sambil berkutat dengan jurnal kebanggaannya. "He thought run away is the best choice. Daripada making chaos, tentunya."

Dan daripada menjelaskan.

"Enggak salah. Tapi enggak betul juga." Mata River sibuk memandang kosong halaman jurnal. "Itu memperbesar masalah. Apalagi kalau masalah aslinya adalah salah paham. Seperti menyiram spiritus pada api. Api akan mengamuk dan menyambar. Boom!"

Gestur tangannya berusaha membuat ledakan. Tapi tawaku yang malah meledak. Dia tertawa juga. Lalu melanjutkan, "Kak Delon sebetulnya enggak pernah cerita. Tapi, Rein, aku memikirkan setiap kata yang dia ucapkan. I know what he thought. Aku pernah jadi orang yang berusaha kabur. Walaupun setelah empat hari aku menyerah." River menyeringai iseng. "Perlu kekuatan besar untuk kabur selama bertahun-tahun seperti Kak Delon. Artinya, kalau kekuatannya dipakai dengan tepat, he could solve his problem."

Aku memikirkan setiap kata yang dia ucapkan. Sementara aku kesal dengan auditory memory-ku, River berusaha mengingat apa yang orang katakan. "Kenapa?"

"'Why' what?"

"Kenapa kamu memikirkan setiap kata yang dikatakannya?" Kenapa malah River yang melakukannya? Kenapa bukan aku, yang seorang perekam, yang melakukannya?

"Oh God, Rein! Kamu fokus ke sana?" Gelak River berderai. Ada beban yang mendadak pecah di dalamku ketika melihatnya. Tawanya reda. Tergantikan oleh senyum lebar. "Untuk tahu cara menenangkanmu, aku harus tahu apa yang kamu rasakan. Setiap kata yang terngiang-ngiang pasti menyebalkan. And yeah, itu membuatku memikirkan apa yang mungkin dialami si pembicara."

"Seperti Kak Delon."

Dia mengangguk. "Makanya kubilang pada Kak Delon, Aku enggak keberatan jadi home. Tapi rumahmu yang lain sedang berperang denganmu. Intinya begitu, aku enggak terlalu ingat sudah bicara apa. Cuma satu yang kuingat jelas: Kobarkan perang itu, selesaikan sampai tamat."

Dan kobarkan perang di kamus River punya arti yang berbeda. "Bukan dengan kekerasan, kan?"

"Rein, bayangkan kamu punya pacar, Dwi mungkin?" Dia langsung menggigit bibir ketika aku mencubitnya. "Oke, oke," lanjutnya, "ketika kamu berpacaran, kamu mau dikuntit Ayah dan Bunda? Membiarkan caramu berpacaran dieja oleh mereka?"

Responsku cuma tatapan getir. Cukup masa lalu yang menguntitku.

"Enggak, kan? Aku juga enggak mau mengeja cara Kak Delon berperang. Perangku mungkin dengan membungkuk serendah-rendahnya supaya bisa naik setinggi-tingginya. Perangmu padaku mungkin penuh kekerasan, omelan, dan teriakan fire in the hole. Auch!" Lengan River kucubit lagi. "See? Itu caramu berperang. Dan aku enggak mau mengubahnya, seperti katamu dulu. Cara Kak Delon berperang barangkali beda. But why not? Selama itu bukan hal buruk, aku akan sebisa mungkin mendukung kalian. Kalau itu berarti harus ke Bandung, I'll do it. Aku harus bertanggung jawab."

"Tanggung jawab?" Aku mengangkat sebelah alis. Kesannya dia baru menghamili anak gadis orang. 

"Mm-hmm," dia menggangguk, "aku yang membuat dia mengobarkan perang, maka aku harus siapkan sesuatu. Amunisi atau lokasi perang. Makanyaaku beri tahu bocoran tentang keluargamu. Aku berangkat ke Bandung, ngebolang dari Cicadas sampai sini.Pakai cara yang membuat jantung anjlok pun, Idon't care."

Bibirku kelu tertiup angin. Bersama gemerisik daun. Pandanganku beralih dari River ke sekeliling.

Pelataran tanah merah. Jalan setapak dari semen. Gang selebar satu orang di antara dua rumah. Kayak lorong. Lorong waktu. Mungkin, kalau ada hal semacam itu, Kak Delon sudah menggunakannya.

Aku mungkin akan menggunakannya.

Menahan River yang akan pindah. Lalu ... apa?

Karena River pindah, aku belajar mencari teman. Ada kekosongan besar yang River tinggalkan kala itu. Ada yang harus mengisinya. Teman diganti teman. Tapi puluhan teman rupanya enggak bisa menggantikan River. Dan Tuhan mengembalikan River dengan cara-Nya.

Lebih baik begini.

Kalau River enggak pindah, aku enggak akan kenal banyak orang atau menjelajah banyak tempat. Temanku cuma River, dan mungkin akan berkurang. Tidak ada hambatan dalam pertemanan membuat bosan. Dan ... itu bukan sesuatu yang menarik.

Aku memeluk kaki, menyembunyikan wajah. "Kamu ingat soal neokorteks kucing?" Kulirik River sekilas. "Kamu yang dulu cerita soal itu."

"Of course. Neokorteks, bagian otak yang cocok dipanggil si Penyihir Waktu, bertanggung jawab atas konsep waktu." River memandang langit. "Penelitian mengatakan mamalia selain manusia enggak punya neokorteks. Kucing cuma salah satunya. Makanya kucing enggak merasa bosan atau depresi dengan kehidupan mereka yang statis."

"Kamu pernah iri dengan kucing atau sapi karena itu, Riv?"

"Nope. Pertemanan kita bergantung pada konsep waktu. Aku enggak mau kehilangan itu." Jawaban River membuatku menegakkan tubuh. "Rein, begitu pindah, aku juga kena culture shock. Semua orang mengira aku alien. And it hurts, you know. Aku enggak mau merasa sakit tanpa tahu alasannya. Lebih parah lagi kalau alasannya adalah otakku enggak paham konsep masa lalu dan masa depan. So, no, aku pilih tetap jadi aku. Bukan kucing, bukan sapi."

"Kamu enggak pernah bilang soal dianggap alien."

"Now you know it." River tersenyum. "Hidup sudah penuh masalah, kan? Aku enggak mau tambahin masalah kamu."

Antara pengin memeluk dan menabok, senyumku malah mengembang duluan. "Kamu gila."

"Thanks." 

--------------

To be continued ....

~ Bandung, 19 Februari 2022

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang