8. Pergi dan (Tidak) Kembali

11 3 2
                                    

Dalam game, mati memungkinkan kita hidup lagi.

Tapi ini bukan dunia game.

----------

Bandung, Jawa Barat

09.11 WIB

Kuambil skateboard dari sudut kamar. Memangkunya sambil duduk di tepi kasur. Rodanya berputar-putar saat dimainkan oleh jariku.

Kemarin dan Kak Delon. Rupanya dua hal itu bisa mengusik.

Entah apa yang Kak Delon bahas dengan Ayah kemarin.

Kemarin sore, saat aku pulang, Ayah menyambut di pintu. Ayah berterus terang kalau dia mau mengobrol dengan Delon. Aku diminta masuk duluan, dibuat panas dingin. Keringat bercucuran, tapi telapak tangan kedinginan. 

Mereka bicara berdua di teras. Aku di kamar. Suara mereka begitu rendah dan pelan. Tertutup suara gerimis membentur kanopi. Aku enggak bisa menguping.

Tapi apa pun isi pembicaraan itu, ending-nya bagus.

Ayah malah menitipkan aku pada Kak Delon sebelum Kak Delon pamit. Padahal cukup River yang minta aku dijaga. Ayah juga bilang, "Titip salam, ya, Delon," saat ojek online sudah menjemput Kak Delon.

Titip salam.

Tanpa tujuan.

Ayah mesti banget ikut main rahasia-rahasiaan dari aku, ya?

***

Motor terus melaju. Enggak ada pembicaraan di motor. Bahkan sekadar pertanyaan belok ke mana? enggak terdengar. Tumben. Rasanya pertanyaan terakhir yang diajukan hari ini sampai sekarang adalah Kamu punya tempat bekal, Rein? Bawa yang kosong ya. Dua. Sendoknya sekalian. Boleh? Itu pun diucapkan sambil cengar-cengir.

Buah Batu sudah terlewat. Sekarang Pelajar Pejuang 45. Rasanya de javu. "Kita mau ke mana?"

"Cobain batagor yang kamu bilang dua hari lalu." Dia cuma memiringkan kepala sedikit ke arahku. "Ini jam istirahat di SMP seberang situ. Biasanya tukang batagor itu udah jualan."

"Tahu dari mana?"

"Rangga. Kenal dia, kan?"

"Kenapa Kak Rangga bisa tahu?"

"Kampus dia dekat situ."

"Kenapa enggak sekalian milih Kak Rangga aja buat jadi guide Kakak di Bandung?"

Gelaknya pecah mendadak. Aku tersentak.

"Sori. Aku baru kepikiran ide itu sekarang."

"Bohong."

"Gimana kalau kubilang, sekarang ini, kamu orang yang paling tahu alasan aku ke Bandung?" Kak Delon menoleh sekilas ke arahku. "Aku enggak mau Rangga tanya-tanya. Ribet jelasinnya. Makanya aku juga nantang kamu simpulin sendiri."

Aku yang paling tahu. Huh. Yakin? Aku enggak merasa tahu apa-apa.

Minimal, aku jadi tahu alasan dia memberiku tebak-tebakan ini:

Dia ingin aku tahu.

***

Gerobak penjual batagor ada di sana. Di depan SDN Halimun. Di antara kerumunan pelanggan dan penjual jajanan lain.

Akang penjual batagor itu hafal aku dan pesananku (seporsi batagor harga lima ribuan), meski kali ini pesananku berbeda. Aku hafal harga dagangannya; seribu per batagor yang ukurannya nyaris sama dengan kepalan tanganku. Sama-sama hafal.

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang