19. Perempuan Kedua

4 1 0
                                    

Seberat-beratnya beban yang kamu pikul, memikul beban orang lain selalu lebih berat.

----------

Bandung, Jawa Barat

12.43 WIB

"Rerencangan na diajak taruang heula atuh, A'."

Temannya diajak makan dulu atuh, A'. Bu Suciati bilang begitu sewaktu Kak Delon dan Kak Rangga keluar dari rumah. Kak Delon menolak. Wajahnya melengos dariku. Sekilas kelihatan bekas air mata.

Kak Rangga cuma merangkulnya, ikut menolak. Aku dan River diam, saling lirik.

Mata Bu Suciati bertemu dengan River. Dia memanggil River—yang mengajakku juga. Alhasil, kami berdua masuk rumah.

"Tunggu dulu ya. Kalau enggak mau makan di sini, bawa pulang aja." Bu Suciati menunjuk tiga kursi plastik di dekat pintu. "Duduk dulu aja."

River mengangguk, lalu duduk. Jadi aku mengikut saja.

Kulirik sekeliling. Ini semacam ruang tamu dan ruang tengah yang menyatu. Dinding diplester pakai semen, enggak dicat. Enggak gerah meski enggak terdengar suara kipas. Padahal, luasnya paling-paling 4x3 meter persegi. Lampu mati. Pencahayaan hanya dari sinar matahari. Tapi setiap benda di sini masih bisa kulihat dengan lumayan jelas.

Lemari kayu setinggi pinggang. Di atasnya ada gelas, pulpen, dan foto yang dibingkai. Dalam foto itu, samar-samar terlihat empat orang. Wajahnya enggak terlihat dari sini.

"Tunggu di sini." River berdiri. Melongok ke arah dapur. "Bu, maaf, saya boleh lihat foto di atas lemari itu?"

Terdengar Bu Suciati mengatakan mangga, mangga dari arah dapur. River memandangi isi figura foto. Tersenyum. Lalu kembali duduk.

"Waktu mereka selama ini terhenti, Rein." River berbisik sambil memandang lurus pada dinding kosong. "Itu foto Kak Delon, dua anak laki-laki yang usianya enggak jauh beda dengan Kak Delon, dan Bu Suci sendiri. Sementara itu, Kak Delon menjauh dari keluarga ini sejak Kak Aji meninggal."

"Artinya ...." Kak Delon masih ada di hati mereka. Dan Kak Delon belum sadar.

Atau ... enggak? Mereka berarti beberapa orang. Bu Suciati adaldah satu orang. Jadi ....

"Perempuan kedua dalam hidup Kak Delon: Bu Suci. Begitu pun dengan Bu Suci. Anak ketiga Bu Suci: Kak Delon."

Bu Suciati kembali ke ruang tengah bersama plastik. "Maaf Ibu cuma bisa ngasih ini."

"Terima kasih banyak, Bu." River yang menerima plastik itu. Biar dia yang melakukan semuanya sekarang. "Ini pun sudah membantu banget."

"Ibu juga mau berterima kasih." Pandangan Bu Suciati menembus kaca jendela. Menuju Kak Delon. Tanpa ditanya, aku paham terima kasih untuk apa.

"Saya turut berduka tentang Kak Aji."

"Ah, A' Aji mah udah tenang dari kapan. Tinggal A' Aray yang susah tenang."

"Tapi kelihatannya sekarang dia juga lebih tenang, Bu."

River menoleh ke luar rumah. Kak Delon, mengomentari salah satu tumbuhan liar bersama Kak Rangga, dan dia tertawa lepas. Terasa begitu tulus.

Seperti senyum Bu Suciati saat kami meninggalkan rumahnya.

Sebelum naik motor, aku melirik River. "Menurutmu, waktu mereka sudah bergerak lagi?"

"Yes untuk waktu Bu Suci. No untuk Kak Delon. His war's not end yet."

***

Aku baru paham maksud River setelah kami sampai rumah.

Bu Suciati adalah keluarga Kak Delon. Mirip keluargaku di mata River.

Tapi sedekat-dekatnya kami, selalu ada yang enggak paham. "Keluarga sendiri selalu lebih baik," kata mereka, seperti menasihati menantu yang berkata keluarga pasangannya lebih baik. Itu kata Bunda. Aku belum punya mertua, apalagi menantu.

Kalimat itu enggak semengganggu yang dipikir orang. Menurut aku dan River.

Karena menurut Kak Delon, itu mengganggu.

Gimana enggak mengganggu, coba? Keluarga sedarahmu sendiri yang bilang keluarga sendiri selalu lebih baik. Menekan sekaligus menimbulkan rasa bersalah dan dilema. Ingin melawan, tapi bukan hanya norma sosial yang dilanggar; norma agama juga dilanggar. Menimbulkan pertanyaan, Apa mungkin mereka benar?

Ini masalah kepercayaan.

Makanya setiap berdoa, perkataan yang tepat adalah: Silakan berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Seperti sepasang orang gaje; si cewek percaya dia cantik, meski si cowok percaya ceweknya lebih cocok disebut manis ketimbang cantik. Sepele. Tapi krusial. Kayaknya.

Masalah agama yang kualami dengan keluarga River kayaknya bukan apa-apa. Selama ini rupanya aku baru mencelupkan kaki ke Bumi.

Selamat datang di dunia, Diriku.

Oh ya. Sebelum tidur, Kak Delon meminta padaku. "Rein, besok kamu ikut, ya. Aku butuh seseorang buat nemenin."

Baiklah. Kenapa enggak? 

------------

To be continued ....

~ Bandung, 19 Februari 2022

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang