Boleh beda. Tapi jangan ribut.
Kayak agama.
Daripada jadi bahan ribut, mending jadi bahan dongeng.
----------
Bandung, Jawa Barat
08.29 WIB
Aku, Kak Delon, dan River diam saja selama sarapan. Keira ikut duduk di sisiku, memandangi tiga kakak yang mukanya kusut. Aku kekurangan tidur, River merasa salah bicara dini hari tadi (cuma ucapan maaf yang keluar dari mulutnya sepanjang pagi ini), dan Kak Delon ... entahlah. Dia kusut karena aku dan River diam-diaman; dari tadi Kak Delon melirik aku dan River bergantian.
"Kak Rein dan Kak Riv berantem?" Keira yang menyuarakannya. Bukan Kak Delon.
Jawabanku cuma dengkusan sambil menyuap nasi goreng, sementara River cuma tersenyum sekilas pada Keira.
"Jadi," kata Kak Delon, "ada rencana untuk hari ini?"
"Ngebolang." River tergelak, lalu mengeluarkan ponsel. Aku mendadak tembus pandang pastinya. "Bu Suci duluan, baru urusan lingkungan sedarah."
"Ke sananya mau gimana? Jadi konvoi kayak katamu kemarin aja, Riv?"
Tuh kan. Ngikut saja lah.
"Yeah. Kak Rangga sudah kuhubungi. Nanti aku yang bilang Bunda kalau motornya dipinjam lagi. Ada yang mau kupamerin nanti dalam perjalanan."
Kurasa cengiran usil River barusan ditujukan padaku.
***
"Tadi warna helm Rivai apaan, ya?"
Yah, konvoi batal karena keramaian tak terduga. Dan helm River warna hitam. Kak Delon enggak mungkin lupa seandainya dia betulan punya memori fotografis. "Enggak perhatiin."
"Kamu berantem sama si Rivai karena apaan sih?"
Jalanan padat merayap. Udara panas walau masih pukul sembilan. Pertanyaan Kak Delon. Tiga hal itu cukup banget membuat kepalaku berasap. "Hal sepele. Kami punya cara sendiri buat baikan. Tunggu aja." Kayak saling pukul atau saling cakar.
Ponselku bergetar. Pesan dari River. Panjang umur. Isinya, Ditunggu di gerbang Gateway Cicadas. Aku mendongak. Gedung apartemen yang dimaksud rasanya sudah di depan mata. "Mereka di Gateway."
"Oke." Kak Delon mengangguk, menyalip kendaraan lain. "Jangan berteman. Berantem lebih baik."
Cocok banget; berantem dan berteman terdiri dari huruf yang sama.
Kami enggak bicara lagi. Banyak kejadian yang berlangsung: bertemu kembali dengan Kak Rangga dan River, melewati Terminal Cicaheum, berbelok ke Jalan Cikadut yang kecil dan menanjak. Terakhir, pesan dari River:
Answer the phone call, please. Kamu boleh enggak bicara apa-apa.
Kupasang earphone. Saat panggilan dari River masuk, langsung kuterima tanpa mengucapkan apa-apa.
"Siap-siap lihat ke sisi kiri. Dalam hitungan tiga. Dua. Satu. Oke, sekarang."
Perintah River kuturuti. Ada pemakaman Tionghoa di sisi kiri jalan, berselang tiga detik dengan habisnya hitung mundur.
"Saat kamu ke Tanjung Pinang, aku enggak sempat cerita karena ketiduran. Itu pemakaman Tionghoa. Pemakaman Buddha memastikan tubuh dibakar, tapi di Tionghoa, orang kaya bakal dimakamin. Nanti aku cerita soal funfact pemakaman Buddha." Dia terhenti sejenak. Aku tersenyum. "Peti mati pemakaman Tionghoa harus dipaku, dan prosesi penyegelan itu enggak boleh ditonton. Dianggap bawa sial. Mayat dibekali kertas perak dan emas. Kadang dibekali uang juga, karena orang Tionghoa percaya dunia setelah kematian adalah ... dunia lagi. Jadi masih perlu perbekalan. Biasanya ada altar di makam. Makin besar dan mewah, artinya makin kaya si orang yang meninggal."
Terdengar napas tersengal dari seberang panggilan. Kupandangi jalan lagi. Belokannya lebih tajam. Jalanan juga penuh lubang, memancing perhatian. Tapi cerita River lebih menarik perhatian.
"Nah, soal sesajian di altar, biasanya itu makanan kesukaan mendiang." Suaranya memelan di kata berikutnya. "Awal pindah ke Tanjung Pinang, aku pernah comot salah satu sesajian. Keep it secret, Rein. Aku enggak cerita pada Mama dan Papa." Gelaknya pecah. Aku ikut tersenyum. "Bottom line, trust me, sesajian di sini jauh lebih mewah dibanding yang dulu kucomot. Tunggu. Dalam hitungan kelima, lihat ke kanan."
Dalam hati, aku menghitung mundur. Ada bangunan tak berdinding di sisi kanan jalan, dipagari jeruji hitam. Terlalu besar untuk disebut pondok. Warnanya dominan merah dan hitam. Ukiran di pilarnya mengilat. Pemandangan di belakangnya juga mendukung; bukit seberang yang masih penuh pohon.
"Yang barusan itu makam juga. Jelas punya orang kaya. Kelihatan bedanya, kan?"
"Iya." Akhirnya aku menjawab. Kak Delon melirik ke belakang sekilas. Aku mendorong kepalanya supaya tetap menghadap ke depan.
Sejenak hening. Kemudian tawa terdengar lagi dari seberang. "Wait. Di depan ada lagi. Mirip kompleks. Tapi belum sekarang. Ada funfact tentang kematian umat Buddha. Kalau kamu datang ke vihara saat masa duka, lalu kamu menangis, nanti kamu diberi uang. Bukan pelayat yang harus memberi uang."
"Serius?" Jalanan sekarang lebih datar, lebar, dan sepi. Tapi motor Kak Rangga di depan kami enggak berniat merapat.
"Of course. Itu mempercepat proses reinkarnasi, menurut kepercayaan mereka. Kalau kamu bokek, tinggal menangis saja."
Aku tergelak sambil mengangguk. Tapi River enggak bisa lihat. Jadi aku bilang, "Makasih, Riv," di antara tawaku.
"Kamu juga. Thanks, Rein, sudah dengar aku ceramah panjang selama di jalan ini. Aku minta maaf; kamu tahu untuk apa. Sampain ke Kak Delon, di depan kita belok kanan. Di belokan itu ada pemakaman besar yang kubilang tadi. Lalu ada jalan kecil ke kanan. Jadi jangan ngebut, siapa tahu gangnya kelewat. See you. Nanti aku cerita lagi kalau ada yang menarik."
Panggilan diputus. Kupandangi ponsel lama. Lalu tertawa.
"Baikan?"
"Aku udah bilang, Kak. Kami punya cara sendiri buat baikan." Tumben kali ini enggak ada kekerasan.
----------
To be continued ....
---------
~ Bandung, 12 Jan 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
HiStory
Teen FictionTravel Series #3 HiStory "All I Need is A Home." Menurut Rein, kedatangan Delon ke Bandung semestinya jadi pengalaman baru bagi mahasiswa gaje asal Yogyakarta itu. Tapi orang asing mana sih yang kenal kota Bandung sampai ke pengalaman-pengalaman sep...