Lagu punya lirik. Lirik punya arti.
Tapi, kadang, kenangan yang dibawa lagu itu lebih kuat daripada arti yang tertanam di lirik.
----------
Bandung, Jawa Barat
15.21 WIB
Salat asar dituntaskan di Masjid Alun-Alun Bandung. Entah kesambet apa Kak Delon sampai ngotot ke Alun-Alun. Padahal Masjid Agung Istiqamah—tempat kami salat zuhur—siap menampung kami sampai sore.
Cahaya matahari menyorot langkah saat aku keluar masjid. Kebisingan menyapa. Penjual bola menawari pengunjung anak-anak. Ada pembicaraan di sepanjang selasar. Punggung Kak Delon yang terselubung jaket buteknya langsung kutemukan. Di pintu masuk lapangan rumput sintetis—lapangan yang berhasil bikin Masjid Alun-Alun jadi tempat yang jauh berbeda ketimbang sepuluh tahun lalu. Kutenteng sepatu. Bertelanjang kaki, melintasi lantai batu dan keramaian, ke arah Kak Delon.
Aku berhenti beberapa langkah di belakang cowok itu sebelum perlahan beringsut ke arah lain, berusaha memandanginya dari samping.
Masih ada jarak di antara kami. Kak Delon sedang bersenandung sendiri sambil memejamkan mata. Di telinganya, terpasang earphone. Aku pernah dengar lagu ini. Sewaktu aku dan River menumpang mobil Kak Eran, teman Kak Delon, dari Yogyakarta sampai Garut. Bahkan liriknya juga masih kuingat, walaupun sekarang Kak Delon enggak menyanyikan liriknya.
"Cie ngelihatin mulu. Seharian ini, udah berkali-kali kamu lihatin aku," katanya. Matanya terbuka, tapi memandangi layar ponsel. Tahu dari mana dia kalau aku di sini?
Akhirnya dia memandangku. Senyumnya membuatku mengernyit.
"Sebelah earphone-ku rusak, enggak ada suaranya. Suara langkah kamu yang diseret jadi kedengaran. Kebanyakan yang jalan ke arah sini masuk ke lapangan rumput, bukan berhenti mendadak kayak kamu."
Cih. Pantas aja. "Itu lagu apa, sih?" Aku berjongkok di sebelah Kak Delon, memasang sepatu. "Kak Eran juga punya lagu itu."
"Heartache, One OK Rock. Kami sering nyanyi bareng lagu ini. Semacam karaoke abal-abal lah." Kudengar Kak Delon tertawa. "Aku sama Eran persis kayak kamu dengan Rivai. Sohib rasa saudara. Bedanya ya di gender."
Aku duduk di sebelahnya. Memandang hamparan rumput sintetis di depan. Pemandangan paling jelas adalah tiga anak kecil—dua laki-laki, satu perempuan—yang berebut bola. Kulirik Kak Delon sambil tersenyum kecil, supaya dia tahu aku mendengarkan.
"Kata aku, dampaknya gede sih, gender tu. Si Rivai itu mainnya lembut mentang-mentang kamu cewek. Entah sebanyak apa sisi dia yang udah kamu lihat, tapi Rivai itu nyeremin juga. Nah, aku ke Eran ngapain lembut-lembut? Sama-sama tahan banting. Hinaan jadi panggilan kesayangan. Dia mukaku, aku bayangan dia. Kadang kebalikannya. Keluarga dia ya keluargaku juga. Makanya kalau dia sama Vi pulkam, ya aku sering ngikut."
"Sebaliknya gimana? Kalau Kakak yang pulkam?"
Kak Delon tersenyum. Senyum mencurigakan. Seperti senyum yang River tunjukkan ketika melarangku mengintip isi jurnalnya. "Rumah itu apa sih, menurut kamu?"
River pernah menanyakan itu padaku. Apa arti sebuah rumah? Apa arti dari home, bukan house? "Tempat di mana aku bisa menjadi diri sendiri. Tanpa perlu memenuhi ekspektasi orang di sekitarku."
"Walau tempat itu adalah gua di tengah hutan belantara? Iglo di kutub selatan sana?" Senyum Kak Delon terpampang lebar. Gaya dia bertanya kayak sedang menantang. Lalu, mengapa pertanyaannya malah menyesakkan? "Walau itu rumah kontrakan kawan deket kamu?"
Aku terdiam. Satu kalimat terlintas begitu saja: Bandung punya sejarah dan kisah Kak Delon, tapi enggak punya hatinya.
"Kelas 3 SMA, mereka pindah ke Yogyakarta. Abah-ambu mereka balik ke Garut setelah tugas si abah kelar, tapi si kembar tinggal. Makanya udah ada rumah di sana waktu aku ikut pindah ke sana. Tapi Vi lebih sering nginap di rumah kawannya, dari dulu sampai sekarang. Pertama kali ketemu dia pas SMA, aku tahu dia adek Eran, tapi adek Eran belum tentu saudaraku juga. Aku dan Rivai emang sama-sama anak tunggal, tapi si Rivai nganggep adekmu sebagai adek dia juga."
Ya. River kesepian sebagai anak tunggal, walau wajahnya enggak menunjukkan itu. Buktinya, selain Keira dianggap adik kecil, kadang dia juga lebih suka menganggapku kembarannya. Tapi ... dianggap saudara bukan berarti mengenalnya luar dalam. "Berarti Kak Eran dan Kak Vi tahu Kakak versi 'sebelum di Yogyakarta'?"
"Kalau aku jawab iya, kamu mau apa?" Kak Delon menyeringai jahil. "Mau tanya-tanya soal aku ke mereka? Aku semenarik itu di mata kamu?"
Sebagai puzzle, iya. Sebagai latihan untuk "membaca" River, iya. Sebagai cowok, amit-amit deh.
Tapi puzzle ini sudah menggulir layar ponselnya untuk mencari lagu lain. Kulirik layar ponselnya. One OK Rock. Roselia. Sayuri. Kebanyakan penyanyi asal Jepang.
"Kamu sendiri suka lagu yang gimana, Rein?"
"Yang liriknya enggak disturbing." Mau gimana lagi? Hidupku dipenuhi setiap kata yang kudengar.
"Kukira setipe dengan Rivai." Kak Delon memeletkan lidah. "Kayak Yo Te Amo. Atau lagu-lagunya L'Arc en Ciel?"
Aku menggeleng. "Tua banget selera dia." Dan kadang agak galau, kayak Mungkinkah-nya Stinky atau Duka-nya Last Child.
"Tampang bocah, lagunya om-om. Mirip seseorang."
"Siapa?"
Dia tersenyum. "Cemburu nih?"
"Ya Tuhan. Buruan jawab siapa. Aku cuma pengin mengulik orang-orang yang mirip River."
"Enggak bisa. Doi udah enggak ada."
"Doi" di sini artinya "dia (laki-laki)" atau "kata ganti untuk gebetan"?
Ingat, Kak Delon itu puzzle yang gampang dan dia memamerkan seluruh kepingan puzzle-nya padaku yang pikirannya enggak selancar River. Jadi, doi hanya seorang dia. Perempuan atau laki-laki, teman atau gebetan, enggak penting. "Dia orang yang dulu Kakak bilang sering kabur dari sekolahnya?"
"Iya. Itu dia."
"Seorang sahabat?"
"Mungkin." Kak Delon tertawa kecil. Entah apa yang ditertawakannya. "Aku agak asing sama kata sahabat itu sendiri. Aku enggak pernah benar-benar bisa terbuka dengan orang sepenuhnya, jadi belum tentu kami bersahabat. Kadang sama Eran juga, aku ngerasa enggak sahabatan."
"Terus? Apa bedanya sama River? Dia itu kerang yang tertutup erat. Kubuka pakai dua tangan atau gigi juga enggak bisa terbuka. Aku ragu dia kenal dirinya sendiri. Tapi dia terima aku apa adanya tanpa diminta. Aku juga terima dia. Memang kadang bikin kesal, tapi aku enggak minta dia berubah. Itu sudah cukup."
"Definisi sahabat di mata Rivai beda. Enggak sesimpel kamu."
"Sahabat itu tentang kepercayaan, katanya. Ada harga yang harus dibayar untuk sebuah kepercayaan. Makin besar harganya, makin besar kepercayaan itu. Bagi dia, sahabat itu rumah. Keluarga."
"Apa yang dia korbanin buat dapet kamu?"
Perintah orang tuanya. Waktunya. Kesabarannya. "Semuanya." Aku tersenyum miring. "Jadi jangan harap bisa dapat kepercayaanku sebesar yang kuberikan pada River."
"Kalau secuil bisa?" Kak Delon tersenyum.
Aku hanya balas tersenyum. Dia tidak tahu aku sudah memberinya lebih banyak dari "secuil".
-------------
To be continued ....
~ Bandung, 21 Nov 2022 ~
KAMU SEDANG MEMBACA
HiStory
Teen FictionTravel Series #3 HiStory "All I Need is A Home." Menurut Rein, kedatangan Delon ke Bandung semestinya jadi pengalaman baru bagi mahasiswa gaje asal Yogyakarta itu. Tapi orang asing mana sih yang kenal kota Bandung sampai ke pengalaman-pengalaman sep...