Ada peribahasa yang harus diartiin secara harfiah. Contohnya:
1. "Sedia payung sebelum hujan."
2. "Sekuat apa pun kita, suatu saat pasti akan membutuhkan bahu orang lain untuk sekadar bersandar."
----------
Bandung, Jawa Barat
20.41 WIB
Teras Cihampelas basah selepas diguyur hujan lebat. Sekarang pun rintik masih berjatuhan.
Kak Rangga yang mengantarku ke sini. Dia enggak bicara apa-apa di sepanjang jalan (bukan Kak Rangga banget). Sempat bimbang untuk menurunkanku di tangga teras pertama. Yah, dia tetap meninggalkanku setelah berpesan hati-hati. Pasti perintah River.
Kupegang erat-erat gagang payung. Napasku mendadak tercekik. Kata River, Kak Delon ada di sini. Tapi sampai sekarang belum ketemu.
Padahal teras ini kosong. Hanya ada beberapa booth tutup. Kok bisa sih, Kak Delon enggak bisa ditemuin di sini?
Selama beberapa hari ini, pakaiannya selalu berwarna gelap, butek, lusuh. Sementara itu, tegel beberapa teras berwarna-warni seperti pelangi yang dipecah secara berantakan dan penuh bercak lumpur.
Teras Cihampelas punya lampu yang menerangi meski langit gelap. Biasanya, teras ini ramai pengunjung sampai menjelang pukul delapan atau sembilan malam. Pengecualian hanyalah hujan deras dan beberapa waktu setelahnya. Kayak sekarang. Jadi, benda serba gelap kayak Kak Delon seharusnya tetap kelihatan di sini.
Ah, anggap dia ada di ujung satunya. Bahkan tengah teras pun belum kuperiksa.
Tapi, setelah beberapa menit dan aku sampai di tengah Teras Cihampelas, masih belum ada tanda-tanda keberadaan siapa pun kecuali daun yang bergemerisik. Bahkan tegel warna-warni sudah tergantikan oleh kayu sintetis.
Oke! Bendera putih! Aku menyerah! Kenapa sih, aku dikelilingi cowok-cowok absurd yang hobi membuatku melakukan pencarian? Pertama River, lalu Kak Delon ....
Aku duduk di salah satu bangku semen, memejamkan mata sejenak. Apa kutelepon River saja?
Jangan.
River memercayaiku untuk melakukan ini. Sudah bagus dia membantuku berpikir. Tenang, Rein. Kepalamu berisik ....
Ada suara bisikan.
Tertelan oleh suara gemerisik dedaunan dan deru mesin mobil di jalan raya di bawah.
Suaranya dari arah kananku. Artinya, lebih ke bawah. Yah, Jalan Cihampelas sendiri menurun. Teras Cihampelas pun dibuat mengikuti jalan raya. Bisikan itu makin jelas saat aku berdiri di puncak tangga. Dari balik sebuah booth.
Aku mendekat. Berjingkat-jingkat. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Berhenti di sisi booth, menjauhkan payung supaya enggak menubruk. Sebelah tanganku menutup mulut, khawatir mendadak menceletuk.
"Enggak. Aku enggak ke sana lagi. Kan dia udah sadar. Tugasku beres. Ngejagain di shift malam sampai dia sadar."
Itu suara Kak Delon. Frustrasi. Takut. Marah. Kecewa. Semuanya bisa terdengar olehku. Rintik hujan tidak terdengar lagi. Hanya ada suara Kak Delon yang ... menusuk sekaligus tertusuk.
Seharusnya aku enggak boleh menguping. Tapi—
"Kalian baru inget nelepon aku setelah Bapak drop. Kalian enggak inget ada anak lain yang harus dikasih tahu soal keadaan Bapak. Bapak juga enggak inget kayaknya. Harusnya udah syukur aku mau datang sebelum Bapak sadar. Tapi bilang makasih aja enggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
HiStory
Teen FictionTravel Series #3 HiStory "All I Need is A Home." Menurut Rein, kedatangan Delon ke Bandung semestinya jadi pengalaman baru bagi mahasiswa gaje asal Yogyakarta itu. Tapi orang asing mana sih yang kenal kota Bandung sampai ke pengalaman-pengalaman sep...