22. Family Date

3 1 0
                                    

Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. [1]

----------

Bandung, Jawa Barat

13.12 WIB

Sejam berlalu sejak kami meninggalkan rumah Kak Delon.

Dia keluar dari kamar orang tuanya dengan mata sembab. Saat melihatku, dia melengos. Lalu mengajak pulang, sehingga kami pamit. Setelah berkendara dalam keheningan selama beberapa menit, akhirnya dia bertanya, "Kamu mau ke mana, Rein?"

"Braga Citywalk."

Kak Delon enggak bertanya untuk apa. Dia cuma mengangguk. Lalu diam di sepanjang jalan. Bukan diam yang enak. Tapi bagaimanapun, dia perlu waktu. Untuk mencerna. Untuk memahami. Untuk terbiasa.

Kupandangi punggungnya. Gemetaran. Jadi kutepuk bahunya perlahan.

"Kenapa?" katanya.

"Aku bukan manggil."

"Jadi, kenapa Braga?"

"Kenapa Braga Citywalk lebih tepat, Kak." Aku menyandarkan kepala—yang pakai helm—ke punggungnya. "Braga ramai, tapi Braga Citywalk bisa dibilang hampir tenggelam dalam kesepian di sana."

Sebagai respons, dia cuma menarik tanganku ke sisi jaketnya. Tangannya dingin dan gemetaran. Lalu kami diam lagi sepanjang sisa perjalanan. Artinya dia paham maksudku: Aku pengin nampar Kak Delon sekeras-kerasnya.

***

Kami parkir di Braga Citywalk. Aku langsung mengajaknya keluar. Tampangnya kebingungan, tapi terlihat kedut dari senyum tertahan di sudut bibir. Matanya berbinar. Lebih asik begini.

Di seberang Braga Citywalk ada toko roti. Bangunan brarsitektur Belanda. Mencerminkan rasanya yang masih asli. Namanya Sumber Hidangan. Kami memasuki tempat itu. Aroma roti menguar. Roti nougat dan daging jadi pilihan kami masing-masing.

Di sepanjang Jalan Braga, berjejer bangku taman untuk umum. Salah satunya kosong, berada di depan ruko tutup yang pintu harmonikanya dicoreti grafiti. Kami memutuskan duduk di sana.

"Katanya toko itu masih pakai resep asli Belanda. Dulunya dipegang orang Belanda, lalu pindah tangan ke orang Indonesia yang paling dia percaya."

Kak Delon memandangi roti dagingnya sambil mengunyah. "Pantesan enak. Jangan-jangan enggak halal." Diam-diam kelihatan menahan tawa.

Aku tergelak. "Jangan-jangan betul." Meski sudah kupastikan itu isi daging sapi.

"Habisin dulu. Baru kita cari kepastiannya." Kak Delon tercengir. "Kan kalau belum tahu, masih boleh. Enggak perlu dimuntahin lagi."

Kusentil pelipisnya. Lalu tertawa. Di seberang jalan di depan kami, pohon kabebuya bermekaran. Warna kuningnya makin cerah karena diguyur mentari siang bolong. Cocok dijadikan spot foto.

Kak Delon menyikutku. Mengedikkan dagu ke seberang. De javu. Sebelumnya, River yang melakukan itu di Yogyakarta, bertanya enggak jadi ke Beringharjo? ketika aku berusaha kabur dari Kak Delon.

Sekarang, Kak Delon yang ada di sampingku. Bertanya apa aku mau difoto di seberang juga.

Enggak.

Aku bisa ke daerah sini lain kali. Ada tempat foto lain yang jadi tujuan.

Setelah puas duduk, kuajak Kak Delon kembali ke Braga Citywalk. Di lantai teratas, ada sebuah photo booth. Kami berhenti di depannya. Derai tawa Kak Delon langsung berhamburan. Dia memandangku dan photo booth bergantian. "Foto yuk." Seperti yang diharapkan.

Kak Ta bilang, mereka—empat bersaudara itu—paling suka foto bareng di photo booth. Ending-nya ribut nentuin foto mana yang paling bagus. Tapi biasanya mereka puas. Mereka bakal menertawakan ekspresi aneh-aneh yang ditunjukkan satu sama lain. Lebih dari itu, Kak Ta bahkan sampai memberiku sebuah foto. Katanya, itu obat mujarab.

Jadi, saat Kak Delon menyuruhku memandang lensa kamera di dinding photo booth, aku bisa membayangkan empat saudara itu berada di sini. Saling dorong, menyalahkan satu sama lain karena photo booth terasa sempit. Ribut karena takut terhalang. Tapi kadang, semua itulah tanda adanya kehidupan.

Empat foto dipilih oleh Kak Delon. Entah yang mana. Tadi Kak Delon menarik pipiku saat difoto. Alhasil, mukaku dihiasi ekspresi aneh dan mengomel.

Teteh penjaga photo booth memberi kami amplop berisi foto yang telah dicetak. Biaya hasil patungan. Kuselipkan foto dari Kak Ta ke dalam amplop sebelum memberinya pada Kak Delon.

Kak Delon otomatis terdiam saat membuka amplop.

Jelas aja. Foto yang Kak Ta beri padaku adalah foto mereka berempat dulu. Dimulai dari:

1. Kak Delon. Pakai seragam SMA. Ekspresinya kecut (meski kelihatan main-main) di tengah-tengah tiga Kakak perempuannya.

2. Kak Ta yang pakai jas almamater. Wajahnya melengos. Mata ditutup pakai tangan. Dia tersenyum.

3. Kak Nee, yang pamer cincin di jari manis tangan kirinya.

4. Terakhir, Kak Ann, terkekeh entah kenapa. Bisa kudengar tawanya melintasi tahun-tahun yang berlalu.

Foto itu sudah menguning di pinggirannya. Tapi, selain itu, kelihatan kalau ia disimpan dengan apik. Kak Delon memasukkannya ke dalam dompet. "Jadi kangen." Senyumnya membuatku tenang.

Yah, mengingat dia enggak tanya, jelas dia bisa tebak dari mana foto itu. Ponselku bergetar. Pesan dari River. Isinya: Beliin sosis besar satu pak, sosis kecil satu pak, saus BBQ, mentega, dan Fanta merah. Sekalian gas kaleng, satu saja. All up to you kalau menyangkut tempat beli.

Aku membalas, Mau ngapain?

Bunda dan Keira mau pergi pukul setengah dua nanti, diajak teman Bunda. Aku sudah izin buat barbeque-an di kamarku.

Aku angkat alis. Kutunjukkan pada Kak Delon. Kak Delon angkat bahu. "Lakuin aja deh. Pegang duit, kan?"

"Enggak masalah kalau kita patungan, Kak?"

--------------

To be continued ....

-------------

[1] Dikutip dari Perjanjian Lama, Kejadian 2:18, yang berisi, TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."


~ Bandung, 19 Februari 2023

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang