25. Cinta T̶a̶k̶ Beralasan

7 1 0
                                    

Waspada!

Ketidakwarasan menular melalui udara.

----------

Pangalengan, Jawa Barat

Sabtu, 7 September 2019

10.46 WIB

Tiga cowok itu sedang membongkar perbekalan. Ranselku digotong River demi memasak mi instan; ada kompor lapangan dan alumunium foil di tasku.

Merapat ke api kompor pasti hangat. Tapi menonton dari jauh lebih dibutuhkan. Terutama setelah seminggu ini. Kutarik napas dalam-dalam. Membakar udara dalam paru-paru memberi alasan kenapa dadaku sesak.

Kak Delon memandangku. Dia melambaikan tangan. Menyuruh mendekat. Aku menggeleng. Akhirnya dia berdiri, mendekati aku.

Dia otomatis duduk di sebelahku. Menelisik wajahku beberapa detik. Lalu mengangguk.

"Lihat apa?"

"Kulitmu belang di pinggiran kerudung—aw!" Kuketuk kepalanya pakai gagang golok. "Setdah. Yang dipakai itu mata pisaunya. Bukan gagang."

Aku mendengkus. "Kakak ikhlas kalau kupakai mata pisaunya?"

"Kamu butuh jawaban dari lubuk hati terdalam?"

"Iya lah."

"Enggak." Dia tergelak. Tawanya menular padaku. Lalu dia memandangku lurus. "Kamu mikirin apa?"

"Kalian."

"Atau aku?" Sesaat aku terdiam. Memandangi wajahnya. Binar terang di matanya. Senyum di bibir. Akhirnya aku angkat bahu. Dia mengerling. "Kamu enggak punya pertanyaan buat aku?"

Banyak. Tapi lebih baik memendam daripada sakit hati dikasih harapan palsu akan jawaban. "Memang Kakak mau jawab?"

"Aku utang cerita sama kamu, kan?"

"Kenapa milih ke Alun-alun?"

Kak Delon tertawa. "Karena para bocah ada di sana pas kita datang. Aku bilang ke Kak Ta, tahan dulu sampai pukul empat atau lima. Kita memang enggak nyapa mereka, tapi masih sempat lihat dari jauh."

Mungkin aku ingat mereka. Tiga anak yang bermain di tengah lapangan. Tapi bukan itu yang sebetulnya mau kutanya. Bukan Alun-alun. Lebih sepele, tapi mengganggu. Mm, seperti ... perubahan.

Aku melengos. Memandang kabut di kejauhan. "Ada yang berbeda dari Kakak."

"Kamu kangen gombalan recehku?"

Otomatis aku membelalak. "Hah?"

"Aku enggak gombalin kamu belakangan ini. Kamu kangen, kan?" Dia menyeringai iseng. "Aku lebih dari ikhlas dikangenin sama kamu."

"Kenapa berhenti?"

"Betulan kangen nih?"

"Kak, jawab aja. Tolong."

Untuk sesaat, tidak ada jawaban. Mata dibalas mata. Napasnya terdengar tersendat. Aku mendesah panjang. "Tarik napas yang dalam dari hidung. Tahan selama lima hitungan. Baru buang dari mulut." Senyum lemah di bibirku. "Udara di paru-paru Kakak bakal memanas."

Dia melakukan apa yang kukatakan. Tiga kali. "Aku bukan kedinginan, tapi makasih." Kak Delon memandangku. "Aku cuma mikir, mana yang lebih nyakitin kamu. Gombalin kamu dan bikin salah paham, atau mendadak berubah dan bikin kamu merasa ... aneh."

Antara pengin menempeleng dan memeluk, yang kulakukan adalah meletakkan tangan di atas tangannya. Seperti tangan bocah diletakkan di atas tangan dewasa.

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang