Datang akan pergi.
Lewat 'kan berlalu.
Maka badai pun pergi dan berlalu.
----------
Pangalengan, Jawa Barat
Sabtu, 7 September 2019
10.46 WIB
Aku berjalan menuju panggung kayu di sisi tebing. Dingin menusuk tulang, tapi ini tempat terbaik untuk menonton pemandangan.
"Kamu kangen, Rein?"
"Banget." Enggak perlu menoleh. Suara River tergantikan bunyi langkah berderit di atas papan. "Dan bakal kangen lagi."
"Tempat ini underrated banget."
"Bagus. Aku enggak mau tempat ini jadi berantakan karena turis."
"As if our life's not fall apart."
"Hidupku enggak seberantakan punyamu." Aku memeletkan lidah. Mungkin River enggak lihat. Tersangkut dalam kehidupan River yang bikin aku kenal manusia-manusia tukang kabur, drama bimbang pilih agama, dan ... semua kekacauan lainnya.
Ada beban di punggungku. Secara harfiah. Merata dan hangat. Punggung River pasti bersandar di punggungku. "I know. Beautiful chaos. Aku punya pasirku di sini. Kamu bilang, aku karang, Rein. Kataku, kamu pasir, dan Kak Delon adalah laut. Dia sendirian. Lupa kita ada di sini. Pasir dan karang bisa ada tanpa laut, tapi pasir yang kering dan karang yang rapuh perlu suntikan hal baru. Seperti laut, dengan penghuni, isi, dan semua tentang laut lainnya."
"Kuharap dia tahu, Riv."
Tawa River terdengar pelan. Makin lama gelaknya makin keras. "He'll know it."
"Kamu janji?"
River diam. Dia enggak bisa berjanji. Enggak akan kupaksa. Aku juga enggak bisa.
"I think time can promise it for him."
Balik lagi. Waktu. Huh. Sebelum menyuruh orang berdamai—sekalipun dengan waktu—aku harus berdamai duluan, ya.
***
Malam itu, di belakang rumah, bersama rasa lelah, aku mendatangi Ayah. Pekerjaan dikerjakan di meja makan. Sampai Jumpa, Endank Soekamti, terdengar dari speaker laptop sampai keluar pintu.
"Enggak di ruang kerja, Yah?"
"Enggak boleh makan di ruang kerja." Ayah mengedikkan dagu ke bak cuci piring. Ada piring kotor di sana, satu set dengan sendok dan garpu. Volume musik diperkecil. "Boleh kerja di dapur."
Aku tertawa. Tapi hati masih terasa mengganjal. Kutarik kursi di seberang Ayah. Waktunya menghilangkan itu. Tadi, dengan sekali tatap pada River, cowok itu langsung paham untuk menjaga Kak Delon dan Keira supaya tidak mendekati aku dan Ayah sementara.
"Apa yang Kak Delon bilang sama Ayah?"
Ayah berhenti memandangi laptop-nya. "Kamu tahu dulu River bilang apa ke Ayah sewaktu papanya bilang enggak boleh berteman dengan kamu?"
Entahlah. Aku menunduk. River memuja misteri, rahasia, dan ketidaktahuan. Ketidaktahuan tidak akan menyakitimu, katanya, dan kadang ketidaktahuan bisa menyelamatkanmu. Memang. Tapi bukan jarang ketidaktahuan bisa membunuhmu. "Memangnya apa?"
"Jangan ah. Kasihan telingamu. Nanti terngiang-ngiang." Ayah terkekeh.
"Ayaaah." Kubaringkan kepala ke meja. Tidak ada harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HiStory
Teen FictionTravel Series #3 HiStory "All I Need is A Home." Menurut Rein, kedatangan Delon ke Bandung semestinya jadi pengalaman baru bagi mahasiswa gaje asal Yogyakarta itu. Tapi orang asing mana sih yang kenal kota Bandung sampai ke pengalaman-pengalaman sep...