23. Barbe-cue

4 1 0
                                    

Enggak selamanya kabur adalah solusi.

Selamanya, kabur bukanlah solusi.

----------

Bandung, Jawa Barat

14.05 WIB

Belanjaan di tangan. Tapi rumah sepi. Aku dan Kak Delon saling pandang. Sepatu River ada di teras depan, Sandal Bunda dan Keira betulan enggak ada. Hebat, pintu dikunci.

"Ada kunci cadangan?"

Aku menggeleng. Mengajak Kak Delon masuk lewat garasi. Selain malam, garasi enggak pernah digembok. Gerbang garasi berderit. Mobil enggak ada. Dibawa Ayah bekerja.

Ada yang hilang. Tumpukan matras camping. Seharusnya ada di sudut belakang garasi, diapit dua lemari—satu berisi alat pertukangan dan satunya lagi berisi sepatu. Kurang dua.

"Matrasnya kurang."

"Harusnya ada berapa?"

"Empat." Punyaku sendiri ada di kamar. Termasuk River, tanpa aku, anggota keluarga ini memang empat. "Mending kita masuk dulu."

Pilihan pertama jelas kamar River, bukan kamarku sendiri. Penghuninya ada di dalam, tengkurap di kasur sambil membaca novel. Wajahnya langsung cerah saat menatapku. Mataku beralih ke sekeliling ruangan.

Dua matras camping terbentang, saling berhadapan di lantai. Kompor portabel, gas kaleng, dan teflon terhampar seenaknya di antara dua matras tadi. Tambahkan piring, talenan, dan pisau. Parah. Bunda betulan ngizinin?

Kusorongkan plastik berisi titipannya.

River otomatis melompat dari kasur. Mengecek isi plastik. Dia membaca struk belanjaan sesaat. "Siapa yang bayar?"

"Kami." Kak Delon menyeringai iseng.

"Kalau gitu, sebutkan berapa jatah yang harus kubayar. And, Rein, bawa matras dari kamarmu. Waktunya barbeque-an."

***

Ada jurnal River di kasurku saat aku masuk kamar. Tertutup, tapi ada potongan kertas menandai salah satu halaman. Di potongan kertas itu, ada tulisan tegak-langsing-nya River. Isinya, Ada storytelling time. Nanti bacakan halaman ini ya, Rein.

Kubuka sekilas halaman itu. Sketsa jam saku yang terbuat dari tinta biru, hitam, dan merah. Ada tetesan tinta cokelat di beberapa sudut halaman. Dan tulisan di tengahnya .... Kubaca sekilas. Melihat tulisan You're not alone di sana membuatku langsung menutup jurnal dan membawanya keluar kamar bersama matras.

Ada yang belum Kak Delon sadari.

Dan kadang, isyarat berupa tamparan memang cara terbaik untuk mengetahuinya.

Desis sosis yang terbakar terdengar dari luar kamar River. River sedang memeluk botol Fanta merah ketika aku kembali. Dia menuangkan Fanta seolah itu adalah minuman alkohol. Aku melongo. Gelakku kemudian pecah. Telat sadar. Itu ajaran yang kuterima: babakaran sosis dan baso dengan Fanta merah sebagai minumannya. Sang suhu, River, menyebutnya seperti pertanyaan spontanku: "Amer?"

River tergelak. Gelas di tangan dia sekarang penuh oleh Fanta. Diberikannya pada Kak Delon.

"Walau kamu enggak dilarang sama agamamu, tetep aja. Kamu belum 18 tahun." Kak Delon menerima gelas itu. Memakan sepotong sosis sebelum meminum sodanya. "Jadi terima aja kalau kamu harus minum Fanta doang."

"Aku suka soda. Soda is a safety option dibanding alkohol betulan, apalagi kalau camping." Pandangan River beralih padaku. "Ya, kan, Rein?"

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang