Panggilan keren: sekretaris.
Panggilan barbar: kacung.
----------
Bandung, Jawa Barat
21.14 WIB
Bukan aku yang mengajak. Bukan aku yang membujuk juga. Kak Delon yang berinisiatif berjalan ke arah RS Hasan Sadikin. Padahal, kalau menurut kesimpulanku dari hasil menguping tadi, dia menolak diminta ke sana lagi ....
Dia memilih Jalan Prof. Eyckman, mungkin karena itu jalan terdekat dari tangga turun kami di Teras 9 Cihampelas. Seperti kata River. Jalan itu ada hubungannya dengan mereka berdua. Dan aku tidak tahu apa-apa.
"Rein, kamu udah makan, belum?" Suaranya pelan dibanding biasanya. Tapi enggak selirih tadi.
Aku cuma mengangguk.
"Makan lagi, ya, di deket RS nanti?" katanya. Aku langsung mengangkat alis. Dia memberiku cengiran lebar. "Aku yang bayar. Mau, ya?"
Yah, artinya dia betulan mau ke rumah sakit. Baguslah. Dia cepat berdamai dengan kepalanya sendiri. "Aku bisa bayar sendiri."
Tubuh Kak Delon mendekat tanpa berhenti berjalan. "Aku tu mau minta tolong sekalian." Dia berbisik. Padahal enggak ada yang bakal mendengar kami.
"Apa?"
"Jagain anak orang." Dia tersenyum. "Keponakanku. Ada empat. Tiga cowok, satu cewek. Paling kecil masih usia tiga, hampir empat. Paling gede usia sepuluh tahun." Ditangkupkannya kedua tangan. "Please."
Aku mengernyit saat kepalaku otomatis me-rewind perkataannya barusan. Keponakan. Bukannya Kak Delon anak tunggal? Apa mungkin anak sepupunya?
Kayaknya mukaku gampang terbaca, Kak Delon langsung bilang, "Apa bedanya bungsu rasa tunggal dan anak tunggal beneran? Bungsu rasa tunggal malah lebih ngenes. Mending ngaku anak tunggal aja, kan?"
Aku lupa. Omongan orang ini harus dipilih. Batas bohong dan jujurnya bias.
"Aku punya tiga kakak cewek. Udah nikah semua." Dia mulai menjelaskan, tapi matanya sibuk memandang seberang jalan. Kayak sedang menghindari tatapanku. "Yang nelepon tadi kakak nomor dua. Dari suara mobil yang kedengaran, kayaknya sih dia lagi di parkiran. Satu-satunya alasanku balik ke RS cuma karena dengar suara keponakanku yang cewek. Dia nanya, Mas Delon mana? Aku belum pamit sama empat bocah itu."
Dia masih bicara, tapi suaranya memelan. Lebih seperti bergumam untuk diri sendiri. Kutangkap sedikit, sepertiSalah emaknya ya salah emaknya aja dan anak kecil enggak tahu apa-apa. Juga sesuatu tentang korban salah sasaran.
Kak Delon akhirnya memandangku. "Tolong kamu jagain mereka dulu selama aku masuk. Soalnya mereka enggak boleh masuk. Tapi enggak dibawa ke RS juga, enggak ada yang bisa jagain. Bapak mereka pada kerja. Ada yang malah lagi dinas di Makassar."
Aku mengangguk. Intinya sudah bisa kudapatkan. Kak Delon ingin bicara pada semua kakaknya tanpa ada yang berusaha "kabur" dengan dalih menjaga anak-anak tadi.
***
Kakak pertama Kak Delon, Kak Ann (namanya Anindya), punya tiga anak. Yang sulung dan bungsu laki-laki. Yang tengah perempuan.
Lalu, kakak kedua Kak Delon, Kak Nee (diambil dari Milania), punya satu anak laki-laki yang akan berusia empat tahun pada bulan depan.
"Tebak nama panggilan kakakku yang nomor tiga." Dia duduk di seberangku, sempat menyuap bubur ke mulutnya sebelum melanjutkan, "Kira-kira aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
HiStory
Teen FictionTravel Series #3 HiStory "All I Need is A Home." Menurut Rein, kedatangan Delon ke Bandung semestinya jadi pengalaman baru bagi mahasiswa gaje asal Yogyakarta itu. Tapi orang asing mana sih yang kenal kota Bandung sampai ke pengalaman-pengalaman sep...