15. Late Night Chat

7 2 6
                                    

Ada yang benci dikasihani. Ada yang benci diabaikan.

Tapi ada yang lebih benci—takut—memberikan apa yang mereka benci itu tanpa sadar.

----------

Bandung, Jawa Barat

03.10 WIB

Aku terbangun. Tas dan jaket masih kupakai. Kerudung juga. Kepalaku berdenyut di sisi kiri belakang. Mimpi tadi mengganggu.

Rakit yang terbakar di tengah samudera. Ada yang mendorongku ke air. Ungkapan minta maaf bisa kudengar di antara kayu yang berkeretak. Kepalaku keluar dari air, samar-samar melihat siluet dua orang di atas rakit. Di antara asap. Menjauh. Bersiap terpanggang.

Siluet yang mirip River dan Kak Delon.

Kak Delon.

Semalam di C'Mar, Kak Delon menceritakan "semuanya" yang penuh lubang. Sebagai pemanis, istilah Kak Delon terlalu banyak yang berbeda arti denganku, seperti:

- Keluarga pertama tidak selalu keluarga kandung.

- Meralat poin sebelumnya, keluarga kandungnya disebut "lingkungan sedarah". Bukan keluarga.

Baiklah. Itu ... sebagian. Inti yang kudapat:

1. Dari "lingkungan sedarah", cuma Kak Ta yang benar-benar berpihak padanya. Bisa dibilang, Kak Ta adalah salah satu alasan Delon tetap tahu keadaan keluarganya.

2. Aji—seharusnya kupanggil Kak Aji—dan Kang Eva (Kak Delon enggak menjelaskan siapa dua orang ini, karena katanya aku akan bertemu dengan yang bersangkutan) adalah "saudara" Kak Delon selain Kak Ta.

3. Kak Eran dan Kak Vi adalah saudara selanjutnya, yang selalu ada—terutama Kak Eran—pada Kak Delon. Menegur Kak Delon jika salah, meskipun menyatakan ada di pihak Kak Delon. Jenis saudara yang tepat.

Cuma ... itu.

Semuanya dari mana, coba? Dia bahkan enggak jelasin kenapa River ke Bandung.

Kutegakkan tubuh. Mencari ponsel. Aku butuh River.

Lama kupandangi chat room aku dan River. Saat ini kami cuma terpisah tiga meter (lebar lorong depan kamar kami), terhalang dua pintu kayu. Tapi entah kenapa chat kelihatannya lebih tepat daripada menculik River dari kamar satunya.

Itu pun kalau dia masih bangun.

Rein_A: Kamu sudah tidur?

RiverArata: Belum. Kak Delon mengigau. Kamu sendiri? Nightmare? I'm here to lend ears, you know.

Rein_A: Bukan mimpi yang asik. Mau mengungsi ke ruang tengah?

RiverArata: Nope. Igauannya enggak mengganggu. Aku cuma penasaran apa yang dipikirkan alam bawah sadarnya.

Rein_A: Memangnya semenarik apa?

RiverArata: Hmm, seberapa menarik kata "maaf" menurutmu?

Rein_A: Setelah pembicaraan di C'Mar, maaf dari mulut Kak Delon memang menarik, Riv. Tinggal cari tahu siapa yang seharusnya mendengar maaf itu.

RiverArata: Mau menyusup dan menguping bersama?

Rein_A: Sama dengan minta kita semua dibunuh Ayah. Ayah memang memperlakukan kamu spesial, tapi enggak ke Kak Delon. Herannya, Ayah enggak asal usir Kak Delon kemarin.

RiverArata: In my opinion, Kak Delon cerita sejujur-jujurnya pada Ayah Azam.

Rein_A: Dan Ayah tahu Kak Delon jujur.

RiverArata: And (again), alasan itu bukanlah "naksir putri sulungnya Ayah Azam".

Rein_A: Aku enggak paham kenapa dia hobi banget godain aku. Yang kudapat dari pembicaraan kami, dia enggak mau dilupain. Forget me not.

RiverArata: Wah, sialan, yang kutahu bukan itu. Katanya penggemar forget me not adalah mendiang temannya. Aji, yang sempat dia sebut. Don't tell me kamu enggak ingat. Ketahuan melindur kalau enggak ingat.

Rein_A: Ingat kok. Jadi, lukisan bunga di skateboard itu melambangkan Kak Aji? Atau itu malah skateboard Kak Aji?

RiverArata: Skateboard?

Rein_A: Kak Delon ngasih aku skateboard, katanya dulu ini punya dia. Aku kan udah cerita.

RiverArata: Pakai kerudungmu.

Sebelum sempat membalas lagi, ketukan pintu terdengar. Kerudungku, karena masih dipakai, enggak jadi masalah. Pintu kubuka. River ada di sana. Mengenakan kaus dan celana selutut. Rambut dia lebih berantakan dari sebelumnya, tapi mata di balik kacamatanya masih segar.

"Ayah enggak masalah kalau aku samperin kamu, kan?" River mengedipkan mata usil. "I'm special, right?"

Aku tersenyum miring. "Ayah terlalu percaya sama kamu, Riv." Kubiarkan dia masuk.

"Aku boleh lihat skateboard yang kamu bilang?" Dia menyeringai iseng. "Or it's your secret with him?"

Jelas bukan. Kalau rahasia, dari awal enggak akan disebut-sebut.

Kutunjuk skateboard di bawah cermin, lalu duduk di tepi kasur. River mengambil skateboard itu dan duduk di sampingku. Dia meneliti lukisan bunga di bawah papan.

Jari River menyusuri pinggiran papan, berhenti pada satu titik. Aku beringsut mendekat. Ada tulisan. Ditulis pakai spidol putih, nyaris pudar sampai aku enggak sadar ada tulisan itu di sana sebelumnya. Delon - 1 Januari 2014.

"Kak Delon memberikan ini untuk Aji—atau Kak Aji. Ini bukan tulisan Kak Delon."

"Kenapa Kak Delon bilang itu papannya?" Yah, siapa juga yang menyuruh percaya kata-kata Kak Delon.

"Mungkin Kak Aji mau Kak Delon menggunakannya." River memandangku. "Supaya Kak Aji tetap hidup, meski sudah tiada. Forget me not. Kak Aji enggak mau dilupain. Kak Delon meneruskan hal itu dengan cara flirting ke kamu."

Aku enggak menjawab. Ada yang kutakutkan dari pembicaraan ini.

"Kata salah satu buku yang kubaca, Ways To Live Forever, jangan terlalu sedih ketika seseorang tiada. Bagaimana mau mengingatku bila kau menangis setiap melakukannya? Kak Delon menerapkan itu. Lebih baik membuatmu kesal. Karena dia takut kamu mengubah sudut pandang padanya, merasa kasihan alih-alih sedih bersama. It's so possible seandainya dia mau kabur seperti dulu." River mencari mataku. Mata kami bertemu. Tapi kali ini, itu enggak menghilangkan ketakutanku. "Kamu takut dia pergi begitu saja seperti aku dulu—atau malah lebih parah. Beban rasa bersalah itu ... akan bertengger di bahumu lagi, Rein. Kamu sadar, enggak, kalau kalian mirip karena itu?"

Dan River malah memperjelas itu. Punya masalah yang sama artinya aku belum tentu bisa membantunya. Tapi jelas aku enggak bisa diam saja. Ada nyeri menusuk di belakang kepala. Aku langsung menghambur keluar kamar. Mengabaikan River yang memanggilku.

Ember berisi air.

Kepalaku harus direndam.

-------------

To be continued ....

------------

~ Bandung, 12 Jan 2023

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang