"Andai aku punya kakak kayak kakaknya."
Kalau belum bisa punya, mungkin bisa pinjam dulu. Atau berbagi.
Berbagi itu indah, katanya.
----------
Bandung Barat, Jawa Barat
10.39 WIB
Kak Delon masuk rumah berdampingan dengan ibunya. Tante Anita, kalau masih pantas kupanggil tante. Aku mengekor.
Setelah masuk, kelihatan jelas rumah mereka bukan tipikal rumah Indonesia; ada lorong di luar jendela samping, berbatasan langsung dengan dinding rumah tetangga. Lorong itu terlihat dari jendela ruang tamu. Ruang tamu dan ruang makan dipisahkan oleh lemari piring dan piano. Sekilas, kelihatannya ruang makan dan ruang keluarga menyatu; ada suara TV dari sana.
Sebagai bentuk "tanda kehidupan" lainnya, ada perempuan muda yang memainkan piano. Lagu klasik. Enggak familier. Tapi gerakannya lincah antar not.
Perempuan itu paling-paling lebih tua lima atau enam tahun dariku. Bukan Kak Ann atau Kak Nee. Perawakannya lebih kecil, dengan mata yang lebih sayu dan ekspresi yang lebih damai. Rambutnya digelung, ditusuk pakai sumpit. Kayak habis nyolong sumpit dari tukang baso.
Tapi selain mereka, enggak ada lagi tanda kehidupan. Tidak ada Maher, Hanum, ataupun Anan.
Kak Delon juga memandangi si pianis. Membiarkan ibunya masuk ke ruangan di ujung dapur.
"Kak Ta." Antara sengaja memanggil dan spontan, Kak Delon enggak menunjukkan arti jelas.
Si perempuan mengangguk. Masih memainkan piano. "Bawa siapa, Dek?"
"Kawan. Namanya Rein."
"Yakin?" Kak Ta melirik aku sekilas. Senyumnya tersungging. Lesung kecil di pipi kelihatan sebelum dia menghadap piano lagi. "Di mana-mana cowok samperin rumah cewek. Bukan cewek disuruh ke rumah cowok lho, Aray Sayang." Dia tertawa ringan.
"Adek mau ketemu Bapak." Suasana seketika hening. Denting piano berhenti. Suara TV entah sejak kapan enggak terdengar lagi. Napasku mendadak sesak. Kulirik Kak Delon. Masih sangat tenang. "Cuma itu. Ini minta ditemenin sama Rein."
"Adek takut?"
"Kakak tahu kok jawabannya." Kak Delon mendesah panjang. "Lagian, Rein jadi saksi buat seseorang yang udah nyeret aku ke sini."
"Dan malaikat itu cowok."
"Kak Ta tahu?"
"Dia cakep, enggak?"
"Kakak udah nikah."
Tawa Kak Ta tiba-tiba tersembur. "Masmu ikhlas kok, Kakak ngefans sama orang lain. Palingan diketawain aja." Dia berdiri. Entah jenis apa nama pakaiannya. Yang jelas, celana kain dan baju sepanjang lutut itu entah gimana malah bikin dia kelihatan lebih muda dan modis. "Jadi mau langsung ketemu Bapak?"
Kulirik Kak Delon. Ekspresinya jadi lebih kecut. "Ibu lagi masuk buat nanya Bapak."
"Nanya mau ketemu anak cowoknya atau enggak? Duh, Ibu, enggak usah ditanya lagi kalau itu." Kak Ta menunjuk kamar yang tadi dimasuki Tante Anita. "Masuk aja langsung. Enggak dianter ya. Temenmu diajakin, enggak?"
"Enggak, Kak." Aku yang duluan menjawab. Enggak perlu tahu isi pembicaraan mereka. Yang penting siap untuk apa pun. Baik atau buruk. "Aku tunggu di sini saja."
"Ada pesan?" Kak Delon menarikku menjauh. Tapi masih dekat dengan Kak Ta. "Tips bertahan hidup di tengah badai kayak gini?"
"Rumah—home—adalah bagian dari mimpi Kakak. Sejauh apa pun Kakak ngesampingin itu, ia bakal balik lagi. Sesering apa pun Kakak nutup mata, dia bakal recokin Kakak sampai Kakak melihat ia. Jadi jangan kabur." Kayak masa lalu. "Hal lain yang juga penting: tetap jadi Kak Delon yang enggak mau mancing keributan. Pokoknya, kalau ada apa-apa, Kakak tahu aku di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
HiStory
Teen FictionTravel Series #3 HiStory "All I Need is A Home." Menurut Rein, kedatangan Delon ke Bandung semestinya jadi pengalaman baru bagi mahasiswa gaje asal Yogyakarta itu. Tapi orang asing mana sih yang kenal kota Bandung sampai ke pengalaman-pengalaman sep...