"Love" dan "romance" banyak disalahartikan.
Padahal, kemesraan ibu-anak juga disebut ROMANCE dan disebabkan oleh LOVE.
----------
Bandung, Jawa Barat
09.16 WIB
Tujuan utama hari ini: Setiabudi Regensi.
Searah dengan Curug Layung. Dan aku berangkat ke sana berdua dengan Kak Delon. Tanpa River. Bukan perangku, kata dia. Tapi senyum River saat kami meninggalkannya agak mencurigakan.
Motor terus berkendara ke arah Geger Kalong. Sudah masuk "daerah atas", wilayah Bandung coret.
Kak Delon enggak banyak bicara. Sesekali dia menyuruhku mencengkeram jaketnya saat tanjakan berada di depan kami. Sekalian menggoda, menyuruhku memeluknya saja. Tapi ... cuma itu.
Lepas dari kemacetan di sekitar UPI, telusur Jalan Sersan Bajuri yang naik-turun-kanan-kiri, akhirnya kami berbelok memasuki sebuah kompleks. Lebih asri dan luas ketimbang kompleks rumahku. Rumahnya boleh tinggi-tinggi, tapi kebanyakan masih bertetangga dengan lahan kosong berumput atau pohon pinus. Jalanannya dari paving block, meliuk-liuk.
Baru beberapa meter dari gerbang masuk, jalanan sudah menanjak, dan langsung menurun dengan curam. Helmku menabrak helm Kak Delon.
"Sori." Kedengarannya Kak Delon bilang gitu sambil tertawa. Palingan dia minta maaf karena ingin meredam rasa dongkolku. Tapi entah kenapa, kesalku enggak sebesar saat kejadian helm saling tubruk sebelumnya. "Bapak enggak suka rumah sakit. Pengin cepat pulang. Rawat di rumah aja katanya. Sekarang juga masih diinfus."
"Rumah kalian jauh."
"Banget." Kak Delon mendesah panjang. Motor melambat setelah jalan kembali datar. "Aku sempat nyaranin buat pindah ke tempat yang lebih dekat dengan rumah sakit. Tapi enggak ada yang mau."
"Di sini lebih sehat dari rumah sakit. Dari segi lingkungan, terutama." Aku memandang sekeliling. Penuh pohon dan kicauan burung. Tanpa derum kendaraan. Cocok untuk pemulihan. "Rumah sakit untuk orang sakit. Pergi dari sana kalau kamu ingin sehat."
"Kata Rivai, ya? Dia benci kata 'rumah sakit'. Padahal hospital diambil dari kata hospice, yang artinya perawatan." Kak Delon menyentuh sebelah tanganku di sisi jaketnya. Aku baru mau menepisnya ketika dia bicara lagi. "Maaf nyeret kamu ke sini."
Suaranya begitu pelan. Tanpa tenaga. Lebih terasa takut ketimbang bersalah.
"Mau cari tempat duduk dulu? Siapa tahu Kakak mau cerita ...."
Tapi dia menggeleng, melepas tanganku. "Nanti aja. Makin cepet kelar yang di sini, makin cepet kita balik. Aku punya utang ke Rivai." Dan, dia kembali. Kak Delon si tukang ketawa sudah kembali.
"Oh ya, aku baru ingat." Aku melongokkan kepala sedikit ke bahu Kak Delon. "Kenapa keponakan Kakak manggilnya Mas? Bukan om atau sebutan paman gitu?"
"Ogah. Aku masih muda. Aku sama si Maher cuma beda 12 tahun. Nasib punya kakak sulung yang jauh lebih tua."
Jalanan menurun lagi, kali ini sedikit melingkar ke kanan. Di sisi kiri, terhalang tembok batako, kota Bandung dari atas terlihat di antara kabut dan serpihan daun pinus.
"Kasih aku satu pertanyaan lagi deh, Rein. Trivia aja. Jangan yang serius-serius. Buat cairin suasana. Tegangnya di-pending dulu."
Aku berpikir sejenak. Trivia .... "Nama kontak di ponsel Kakak pasti aneh-aneh?"
Dia malah tertawa. "Pake julukan semua. Punya si Rivai, ya Rib Eye. Kalau Eran, Bapak Kos. Ya macam-macam."
"Namaku?"
"Enggak mau periksa sendiri?"
"Enggak. Kakak aja yang jawab. Jujur enggak jujur, aku terima."
"Tebak."
Motor kami melambat. Memasuki sebuah jalan berportal. Jalan yang ini belum dipasang paving block. Masih berjalan semen rusak, dengan lubang dan batu kerikil di mana-mana. Lalu bertemu paving block lagi. Masuk ke salah satu cluster.
"Nama yang ada hubungannya dengan hujan?" kataku akhirnya.
Dia mengangguk. Sekalian menghentikan motor di depan sebuah rumah di sisi kanan jalan. "Ini rumahnya."
Aku melompat turun, memandang rumah yang ditunjuk. Rumah minimalis dua lantai. Warna merah bata. Pagar putih setinggi dada. Halaman kecil. Jendela besar ....
"Oi." Panggilan Kak Delon membuatku berbalik. Dia masih duduk di motor, melambaikan tangan, menyuruhku mendekat. "Tunggu mereka keluar. Suka ada yang ngamuk kalau rumahnya mendadak dimasukin."
Kudekati Kak Delon. Dia menunjukkan sesuatu di ponselnya. "Namamu. Bukan baru kuubah. Dari dulu namanya itu."
Nama kontakku di ponselnya ... Through The Rein. "Kenapa pilih ini?"
"Hujan—rain—yang anter aku dari Bandung, dan kamu, Rein, yang kemarin jemput aku." Dia memandang rumahnya—atau rumah keluarganya. "Rencana Tuhan enggak bisa ditebak."
Ya, enggak bisa ditebak. Kurasa Kak Delon pun enggak menduga ada orang yang keluar dari rumah keluarganya sekitar lima detik setelah dia bicara begitu. Seorang wanita. Mungkin seumur Oma. Tapi pandangannya pada Kak Delon sama dengan ketika Bunda memandangku dan River.
Pandangan seorang ibu.
Tapi Kak Delon masih saja duduk di motor. Wanita tadi berjalan ke arah kami. Aku langsung menyalami tangannya. Dia tersenyum. Kudengar Kak Delon mendesah panjang.
"Kamu, Dek?" Wanita itu sekarang mengulurkan tangan untuk disalami oleh putranya. "Enggak mau salam Ibu?"
Kak Delon enggak menjawab. Untuk sesaat dia malah memalingkan wajah. Kalau bisa, kugampar saja biar enggak seperti itu. Akhirnya, Kak Delon berdiri dari motor dan langsung memeluk ibunya. Melupakan tangan sang ibu yang ingin disalami.
Sesaat aku membeku. Terpana. Lalu menjauh. Memberi mereka waktu.
Kulihat sekeliling. Jalan buntu yang tertutup oleh semak dan pepohonan pinus. Angin bertiup perlahan. Masih jernih dan sejuk. Masih belum sesak oleh polusi.
"Sori, Rein."
Aku langsung berbalik lagi. Kak Delon sudah ada di sampingku. "Maaf kenapa?"
"Malah biarin kamu sendirian." Dia menggaruk-garuk kepala kikuk.
"Bunda selalu pengin pasangan anak-anaknya nanti mengizinkan Bunda tetap menghabiskan waktu dengan anak-anaknya. Termasuk anak angkatnya, alias River." Aku meninju lengan Kak Delon. "Aku enggak mau hancurin impian Bunda lewat perbuatanku sendiri. Karma itu ada, menurut River."
Lagian, laki-laki yang mesra dengan ibunya adalah hal yang hebat. Hebat karena ... mereka bisa mengesampingkan gengsi. Bukan hal yang bisa dilakuin semua orang.
Bukan "mesra" dalam konteks menggelikan. Mesra ibu-anak.
River dan Tante Arin termasuk mesra di mataku. Cium pipi, kata-kata I love you sebagai penutup telepon, dan panggilan sayang tanpa alasan tertentu selain "dia ibuku" atau "dia putraku". Belum lagi kalau melihat River yang mengizinkan sang mama memeluk lengannya. Kalau saja River enggak bertampang seperti anak SMP bertubuh tinggi, enggak akan merasa ada yang menyangka mereka ibu-anak.
Melihat betapa spontan Kak Delon saat memeluk ibunya, aku tahu Kak Delon tipe orang yang bisa menunjukkan perhatian terang-terangan. Atau, dia sudah lama memendam.
"Rein?" Panggilan dari Kak Delon membuatku tersentak. "Yuk masuk?"
Senyum takutnya berhasil membuatku langsung mengangguk dan menyusul.
--------------
To be continued ....
~ Bandung, 19 Februari 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
HiStory
Teen FictionTravel Series #3 HiStory "All I Need is A Home." Menurut Rein, kedatangan Delon ke Bandung semestinya jadi pengalaman baru bagi mahasiswa gaje asal Yogyakarta itu. Tapi orang asing mana sih yang kenal kota Bandung sampai ke pengalaman-pengalaman sep...