3. Anak Skateboard ≠ Anak Nakal

14 3 8
                                    

Nakal itu relatif.

Baik juga relatif.

Kata kebanyakan orang, penampilan menentukan juga nakal atau baiknya seseorang. Judge the book by its cover. Seperti celana komprang kedodoran dan skateboard yang membuat orang dicap "nakal".

Pasti "kebanyakan orang" enggak kepikiran kalau berpakaian begitu lebih baik daripada telanjang bulat.

----------

Bandung, Jawa Barat.

15.16 WIB

Bola dilempar. Gagal dipukul.

Dilempar lagi. Berhasil dipukul!

Si pemukul cepat-cepat lari. Aku berdiri, berjinjit, menelisik sisi lain lapangan.

"Pertandingannya lebih menarik dari makanan?"

Aku tersentak. Nyaris tersandung batu di belakang sepatu. Kak Delon menahan punggungku sampai stabil. Aku kembali duduk dan berterima kasih. Dia tersenyum, duduk di sebelahku. Gurat khawatir di keningnya terlihat jelas.

"Sori, malah ngagetin." Kak Delon membuka bungkusan makanannya. Makananku sendiri menunggu di batu tempat kami duduk. "Pitcher barusan ngeri juga lemparannya buat sekelas latihan doang." Dia memandangku sambil mengunyah. "Kamu demen softball?"

Membedakan kasti, softball, dan baseball aja enggak bisa. Jadi aku menggeleng. Melanjutkan makan.

"Tugas pitcher dan catcher selalu sama kok: mempermalukan pemukul lawan biar kayak orang bodoh. Tapi pasangan suami-istri[1] itu mempermalukan pakai ilmu."

Dan Kak Delon baru mempermalukanku yang buta baseball. "Sebentar lagi Asar. Setelah itu, mau ke mana?"

"Ada tempat yang pengin kamu datengin, enggak? Yang enggak bisa kamu datengin sendiri, biar aku temenin."

Ada sih. Tapi enggak semua orang mau terima ajakanku. "Skatepark di kolong Pasupati. Di seberang Baltos[2]." Waktu itu, aku enggak sempat ajak River. Harus ditunda. Lumayan juga kalau Kak Delon mau. Akhirnya aku bisa ke daerah beling[3] kayak kolong Pasupati.

Kak Delon enggak langsung menjawab. Malah menatapku dan pertandingan tadi bergantian. "Kamu demen olahraga?"

Aku mendengkus. Memandang kertas pembungkus nasi yang sudah kosong dan berujung kuremas. "Aku cuma penasaran hal apa yang mungkin jadi belahan jiwaku." Kayak River dan tumpukan jurnal terkutuknya.

"Berarti bisa aja belahan jiwamu itu aku, kan?" Kak Delon berbisik tepat di telingaku. Aku tersentak, menjauh. Dia melanjutkan, enggak berbisik lagi, "Kamu bisa cari tahu soal aku."

Hidupnya pasti enggak kenal liburan dari gombalan. "Aku bukan penggemar puzzle berbelit kayak River."

"Ah, aku tu puzzle yang gampang kok. Biar aku kasih kamu kepingannya. Tinggal kamu susun aja."

"Oke." Aku mendekatkan muka pada Kak Delon. Memandang langsung matanya. Dia kira mencari kepingan puzzle yang tepat adalah hal mudah? "Mana kepingannya?"

"Jadi kamu terima tawaranku?" Dia tercengir, mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. "Cari tahu apa hubunganku dengan Bandung. Kalau kamu berhasil, aku bakal jadi jin ajaib yang kabulin tiga permintaan kamu. Kalau gagal, selamat berpuas diri dengan sisi enigmatik-ku."

Wah, wah, keuntungan besar di pihakku. Sayang banget kalau ditolak. Kujabat tangannya. "Jadi, apa clue pertamanya?"

Dia malah menunjuk sekolah di seberang kami. Di sebelah masjid. "Beberapa tahun lalu, ada anak nakal di sekolah itu yang kalau bolos, suka lari sampai Taman Pers Malabar. Anak itu caper ke guru biar dikejar."

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang