6. Sisi-Sisi Baik-Baik Lingkaran Setan

12 3 5
                                    

Seburuk-buruknya sesuatu, Tuhan udah menciptakan itu.

Kalau itu buruk banget sampai tembus inti bumi bolak-balik, kenapa Tuhan ciptain itu, coba?

----------

Bandung, Jawa Barat.

11.37 WIB

Pakaianku lembap. Hasil cipratan air curug. Keisengan Kak Delon. Miris, aku enggak bawa baju ganti.

Angin dalam perjalanan pulang jadi terasa makin dingin dan menusuk. Rapalan maaf dari Kak Delon jadi musik yang melengkapi. Sudah berapa kali dia menawarkan jaketnya, yang berujung kutolak.

Matahari sedang tinggi-tingginya. Bagus. Pakaianku bakal cepat kering kalau dibiarkan terjemur. Poin minusnya, paling-paling sakit kepala. Ini jam makan siang. Macet. Enggak heran. Tapi Kak Delon masih nekat menyelip di antara kendaraan lain. 

Di antara deru mesin di perempatan, terselip pertanyaan Kak Delon yang berisi: "Tahu tempat enak buat makan?"

"Suka lomie? Ada tempat makan lomie di Jalan Ciliwung. Biasanya rame. Kalau siap menunggu, kita ke sana aja."

Kak Delon mengangguk. "Berarti lewat Gedung Sate, ya."

Bisa. Aku lebih suka memutar karena razia di depan PUSDAI—masih satu lurusan dengan Gedung Sate—selalu jago menciptakan macet. Tapi biarkan Kak Delon "berkreasi" dengan memorinya.

"Kamu tahu tempat-tempat makan gini, artinya sering jajan?"

Sebetulnya enggak. "Akang-akang" dan "teteh-tetehku" yang mengajakku jajan. Senioritas ala enggak ada dalam kamus kami.

Perihal lomie, Aydan—salah satu "akangku"—yang mengajak pertama kali. Diajak makan olehnya enggak pernah bikin sesak napas, dan kadang malah menyenangkan, karena:

1. Nominal isi dompet kami nyaris serupa (bokeknya). Dia enggak akan bawa aku ke tempat penyebab KanKer alias Kantong Kering.

2. Dia selalu rela membonceng aku meski tenaga motor bebeknya tinggal setengah dari tenaga asli.

Dia juga pernah mengajakku sarapan lontong kari di Jalan Baranang Siang, sekitaran Kosambi, yang harga seporsinya cuma delapan ribu rupiah. Gara-gara kebiasaannya, kupanggil dia Aydan si Tukang Jajan.

Kak Rangga, teman backpacker River dan Kak Delon, pernah membahas lontong kari itu juga dalam perjalanan kami ke Semarang. Kata Kak Rangga, dulu kakeknya tinggal di Jalan Sunda, jadi Baranang Siang (yang penuh jajanan enak) dan Pasar Kosambi sudah dianggap taman bermain.

Harusnya waktu itu aku ajak River ke sana.

"Rein, jangan melamun oi."

Aku tersentak. "Maaf."

"Lagi nginget masa-masa diajak pacar ke sana?"

"Sok tahu." Aku mendengkus. Menoleh ke sisi jalan. Jalan Ciliwung sudah ada di sebelah kanan depan. "Belokan yang itu."

Motor langsung pindah ke lajur kanan. Berbelok. Merapat di tenda warung bertuliskan Lomie Ciliwung. Kulirik isi tenda. "Tumben belum terlalu rame."

Kak Delon langsung tergelak. "Standar rame kamu tinggi, ya?"

Lebih tepatnya, standar di sini yang tinggi. Tempat duduk di dalam memang penuh, tapi cuma ada satu-dua orang yang berdiri menunggu. Artinya masih belum ramai. Biasanya, kalau datang lewat dari pukul satu siang, orang yang menunggu sambil berdiri lebih banyak lagi. Para pengunjung pun mesti duduk di trotoar.

"Kakak tunggu di luar aja." Aku menunjuk trotoar yang bisa dipakai duduk. "Mau mi baso atau lomie?"

"Lomie aja." Dia duduk sambil mengeluarkan ponsel. "Samain dengan kamu."

Di depanku, ada pasangan muda-mudi yang juga mengantre. Si cowok sedang menjelaskan sesuatu tentang lomie di sini pada cewek berkerudung di sebelahnya. Harusnya aku juga menjelaskan pada pendatang baruku.

Kulirik Kak Delon di luar. Dia fokus memandangi ponsel dan lipatan kertas di tangannya. Ada pensil diselipkan di telinga.

Ada yang dipikirkannya.

Kembali lagi ke pertanyaan kenapa dia ke Bandung.

Dia menjebakku dalam lingkaran setan. Terima kasih.

***

Berhubung punya skill "makan tanpa meja", kami berdua sepakat makan di pinggir trotoar saja. Kak Delon duduk di sebelahku, masih menyalin sesuatu dari handphone-nya ke belakang struk panjang. Kuperhatikan dia menulis. Sibuk mencari hal yang membuatku merasa janggal melihatnya menulis. 

"Aku emang kidal."

Aku langsung mendongak. "Apa?"

"Kamu sibuk ngelihatin karena tangan kiri, kan?" Kak Delon melambaikan tangan kirinya yang memegang pensil.

Oh. Ya. Betul juga. "Kagok aja lihatnya."

"Enggak mau bilang itu tangan kotor, enggak sopan, dan lain-lainnya?" Kak Delon tersenyum. Siku di lututnya, tangan menopang dagu. Memandangku. "Aku udah biasa kok. Makanyabelajar pakai tangan kanan. Enggak usah malu-malu buat bilang."

Tawaku tersembur. "Kalau tangan kiri sehina itu, kenapa Tuhan membuat tangan kiri? Kanan atau kiri, sama-sama penting. Beda tugas saja. Yang satu di depan layar, satu lagi di belakang panggung. Saling mengasihi. Saling melengkapi."

Matanya mengerjap. Dia tertegun. Senyumnya melebar. Huh. Harusnya aku ngomong dipikir dulu.

Kak Delon menyandarkan kepalanya di lutut, memandangku. Tatapannya membuatku risi. Tapi membuang muka nanti dikira malu-malu kucing. Dilema.

"Kamu spesial ya, Rein."

Aku mendengkus. "Maaf, tapi aku bukan martabak."

"Bagus. Kalau kamu martabak, kayaknya udah kurebut dari kapan." Matanya mengerling. Lalu memandang ponsel lagi.

Kubiarkan dia. Lomie pesanan kami sudah datang. Mie pipih, diguyur kuah kental berwarna kecokelatan. Baso, pangsit rebus, dan kangkung melengkapi di atasnya. Aroma ebi[1] tercium kuat.

Tepat setelah aku berdoa, dia memanggil, "Rein, kalau ada yang minta maaf sama kamu tentang kejadian tiga-empat tahun lalu, kamu bakalan maafin dia, enggak?"

"Kalau enggak kumaafin, aku benci River sekarang." Aku lalu menyeruput lomie-ku. Panas; mungkin karena isi pikiranku juga. Apa yang terjadi kalau aku enggak maafin River? "Kalau orang itu berharga buatku, bakal kumaafin dia."

"Sampai dia enggak ada harganya lagi?"

"Di kamusku, berharga artinya aku sayang dia. Sayang artinya masuk ke dalam hati. Orang yang sudah masuk ke hati enggak gampang buat menghilang sepenuhnya. Posisinya mungkin kegeser, tapi enggak mungkin kegusur." Aku tertawa kecil. "Ava, dari buku Di Tanah Lada karya Ziggy Z., yang bilang itu. Buku yang direkomendasiin River."

"Itu bukti Rivai masih berharga buat kamu. Kamu masih baca buku yang dia bilang bagus. Padahal Ziggy menulis buku-buku bukan-untuk-semua-orang." Kak Delon mulai memakan minya. "Aku masih ada di hati mereka, enggak, ya, Rein? Siapa tahu aku rupanya bisa kegusur dari sana. Aku kan enggak bayar sewa."

Cuma mereka yang dimaksud Kak Delon yang bisa jawab.

Bukan aku.

Jadi aku cuma menepuk bahunya dan berkata, "Hati dan otak selalu bisa melihat sisi baik manusia untuk menyortir sebaik apa mereka, Kak."

----------------

To be continued ....

----------------

Footnote: 

[1] Ebi: Udang kering.

~ Bandung, 19 Nov 2022 ~

HiStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang