BAB 22 : Batu Sihir

332 45 0
                                    

Malam itu, Rhaella bisa tidur dengan nyenyak tanpa harus merasakan dingin. Dia juga tak lagi mendapatkan mimpi buruk atau terbangun di tengah malam.

Untuk pertama kalinya dalam enam bulan terakhir, Rhaella bisa bangun di pagi hari dengan suasana hati yang baik.

Tepat setelah Rhaella membuka mata, dia segera menoleh ke samping dan mendapati Rullin yang tengah memejamkan matanya di atas kursi. Kedua tangan pria itu bersidekap di depan dada, sementara kepalanya menunduk ke bawah, Rullin tampaknya tidak beranjak dari tempat duduk itu setelah melihat Rhaella tidur.

Segala hal yang terjadi di malam sebelumnya terasa seperti mimpi bagi Rhaella. Jika saja kehangatan tidak mengalir di dalam tubuh Rhaella, mungkin wanita itu benar-benar akan berpikir bahwa kejadian kemarin hanyalah ilusi yang dialami oleh orang sekarat.

“Rullin,” panggil Rhaella seraya mengguncang lengan pria itu.

Dalam hitungan detik, Rullin segera membuka mata dan menegakan punggungnya saat melihat Rhaella. “Ah, kamu sudah bangun.”

“Kamu di sini semalaman?” tanya Rhaella.

Rullin mengusap wajahnya sebentar, sebelum membalas, “Di luar hujan, bagamana aku bisa kembali?”

Alasan.

Ketika Rullin masuk ke dalam kamar Rhaella, hujan juga sedang turun, tapi pria itu bisa berjalan dari halaman selir ke halaman utama.

Tanpa menunggu balasan Rhaella, Rullin sudah bertanya lagi, “Bagaimana keadaanmu?”

Rhaella sontak bangkit untuk duduk dan mengulurkan tangannya ke hadapan Rullin. “Sangat baik. Coba pegang tanganku, sekarang suhunya sudah hangat.”

Rullin tersenyum saat melihat Rhaella menampakkan ekspresi gembira seperti biasanya, bukan ekspresi kesakitan seperti semalam. Dia kemudian menggenggam tangan Rhaella, memainkan jari-jemari wanita itu sebelum akhirnya menempelkan tangan Rhaella di pipinya.

“Hangat, kamu sehangat tungku perapian,” bisik Rullin.

Rhaella seketika membeku di tempatnya, kelopak matanya berkedip dengan cepat tatkala melihat tatapan mata Rullin yang memancarkan kelembutan.

“Rullin, hentikan itu.”

“Hentikan apa?”

Rhaella menunjuk wajah Rullin. “Hentikan membuat wajah seperti itu! Ya, jangan menatapku begitu.” Rhaella memegang dadanya sendiri. “Jantungku tidak kuat! Wajah tampanmu membuatku ingin memiliki putra yang sama tampannya denganmu! Nah, nah, Rullin, bagaimana bila kita membuat anak sekarang?”

“Yang Mulia! Di mana sopan santunmu?!” tegur Rullin, berpikir jika dirinya akan gila apabila terus meladeni ucapan brutal dari Rhaella.

Rhaella berdecak, “Tch, bisa-bisanya kucing menolak ikan.”

Rullin mendengus sebagai balasan, “Hentikan omong kosongmu sebelum aku melemparmu keluar jendela.”

“Kekerasan! Kita baru saja mengatakan cinta tapi kamu sudah mau melakukan kekerasan rumah tangga kepadaku! Rullin, Dewa pasti akan melemparmu ke neraka saat mati!”

“Rhaella! Bisakah kamu tidak membuatku sakit kepala?!”

Rhaella akhirnya melontarkan tawa renyah, karena berpikir kefrustasian yang ditunjukkan oleh Rullin sangat lucu di matanya.

Sedangkan Rullin hanya memperhatikan Rhaella sembari menyandarkan punggungnya ke kursi. Walau Rullin terlihat kesal, nyatanya ia turut senang saat mendengar tawa Rhaella, karena tawa wanita itu lebih berharga daripada tangisan Rhaella.

My Fallen KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang