BAB 29 : Menatap Bintang

311 37 0
                                    

Sepanjang hari menjelang malam, Rhaella sudah memaksa Rullin untuk menemaninya mengitari kota, mencicipi berbagai macam kudapan ringan yang tidak akan bisa mereka temukan di istana. Ada kalanya Rhaella akan membagikan makanan yang ia beli kepada anak-anak yang tampak lusuh, mereka sepertinya adalah anak-anak jalanan yang tidak memiliki orang tua, sehingga harus hidup berluntang-lantung di jalanan kota.

“Terima kasih makanannya, Nona yang baik,” seorang gadis kecil tersenyum lebar setelah mendapatkan bungkusan roti hangat dari Rhaella.

Rhaella turut tersenyum, dia mengelus helaian rambut gadis itu sembari berkata, “Makan yang banyak supaya kamu bisa cepat tumbuh besar.”

Gadis itu menganggguk sebagai balasan, kemudian berlari ke arah teman-temannya yang juga mendapatkan roti dari Rhaella.

Ketika melihat kepergian anak-anak itu, senyuman di wajah Rhaella berangsur-angsur menghilang, tergantikan oleh tatapan sendu. “Jika aku tidak membuat asap pengendali pikiran, mungkin anak-anak yang dikorbankan itu masih bisa berlarian seperti mereka.”

“Rhaella …,” Rullin berbisik, “Kita sudah pernah membicarakan ini sebelumnya, kematian mereka bukanlah salahmu.”

Rhaella menghela napas. “Bicara memang mudah, tapi menghapus pemikiran tentang hal itu sangat sulit, Rullin.”

Sejak menjadi panglima perang, Rhaella sudah terbiasa mengingat banyak kenangan buruk di dalam kepalanya. Mulai dari kematian para prajurit, kekalahan perang, atau melihat penderitaan dari para penduduk yang diakibatkan oleh peperangan.

Ingatan-ingatan buruk itu lantas terpatri kuat di dalam benak Rhaella, menjadi kenangan yang tidak akan bisa Rhaella lupakan.

Oleh karena itu, sulit bagi Rhaella untuk melupakan kesalahannya begitu saja, terutama karena kesalahan kali ini menyangkut nyawa dari orang-orang yang tidak bersalah.

“Rasanya aku terlalu banyak melakukan kesalahan di dalam hidup ini,” Rhaella mengangkat kepalanya, memandang hamparan bintang yang berbinar di sekitar rembulan.

Dia seperti ini lagi, pikir Rullin di dalam hati.

Setelah mengenal Rhaella lebih dekat selama beberapa hari, Rullin mulai sadar bahwa suasana hati Rhaella sangat mudah berubah. Jika di siang hari Rhaella mampu tertawa bahagia dan selalu ingin bermain, maka di malam hari Rhaella bisa saja menjadi orang yang mudah berpikiran buruk dan kerap bersikap seperti orang yang kehabisan energi.

“Apa ada sesuatu yang salah di istana?” tanya Rullin, menebak mungkin saja ada hal buruk yang terjadi saat Rhaella pergi ke istana sehingga membuat suasana hati Rhaella mudah berubah seperti ini.

Rhaella menundukkan kepala, dia menendang beberapa kerikil kecil yang ada di dekat kakinya. “Jangan bicara di sini.”

“Mau kembali?”

“Tidak,” Rhaella menambahkan, “Ayo, kita pergi ke tempat yang lebih sepi.”

Rhaella menarik tangan Rullin, membawanya pergi dari hiruk-pikuk perkotaan menuju wilayah padang rumput yang letaknya lebih tinggi dari ibukota. Di tempat itu, sama sekali tidak ada orang karena penduduk kota selalu menghindari tempat-tempat yang tidak disinari oleh cahaya.

“Kalau sedang jalan-jalan di kota, aku sering ke sini saat tidak mau mendengar kebisingan.” Rhaella menunjuk ke arah langit. “Lihatlah, langit malam di sini tampak lebih jelas karena tidak ada penerangan sama sekali.”

Rullin mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Rhaella, menatap bintang-bintang yang menutupi hampir keseluruhan langit malam yang beraksen keunguan, sehingga tampak bagaikan sebuah galaksi.

My Fallen KingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang