21

17 8 0
                                    

Fannya menggigit bibir bagian bawahnya, kala matanya kini menatap ragu kearah sebuah tulisan kapital yang tertempel didinding gedung tempatnya berada.

Rumah Sakit Jiwa Harapan

Fannya kini menengok kearah sampingnya, tepat dimana Nindi berada. "Nin, ini beneran ada disini?" tanya Fannya ragu.

Nindi mengangguk mantap. "Iya, beneran kok disini" jawab Nindi penuh keyakinan.

Fannya kemudian menatap kearah depannya kembali, gadis itu mengeratkan pegangannya pada tali tas ransel yang berada dipunggungnya.

"Ayo masuk" ucap Nindi pada Fannya, gadis itu kemudian tanpa berijin menarik lengan Fannya yang ditutupi oleh jas almamaternya itu paksa.

Mereka berdua bolos sekolah sekarang, demi memenuhi rasa penasaran mereka berdua yang kian hari semakin besar, terutama Fannya yang sangat penasaran dengan semua itu. Ini juga adalah sejarah dalam hidup Fannya membolos sekolah, setelah sekian lamanya dia tak pernah absen dari kelas satu SMA bahkan dua SMA, kecuali dirinya sakit.

Awalnya Fannya menolak itu semua, gadis itu tak setuju dengan ide yang terbilang gila dari Nindi dan memilih untuk menyelidikinya nanti saja saat jam pulang sekolah. Namun Nindi mengatakan jika pulang sekolah Aldo ataupun Gavin akan berkunjung kesini, Nindi juga mengatakan bahwa rencananya akan sia-sia dan tak ada gunanya lagi.

"Kamu nyari siapa, sih?" tanya Fannya bingung kepada Nindi yang kini tengah sibuk mencari keberadaan seseorang saat keduanya sudah berada dilobi rumah sakit jiwa tersebut.

"Nyari- nah itu orangnya!" seru Nindi kegirangan setelah sekian lama apa yang ia cari ditemukan.

Tanpa berucap sepatah katapun, Nindi langsung lari yang membuat Fannya ikut berlari dibelakangnya.

"KAKAK!!" seru Nindi manja dan langsung menerjang tubuh Rafi, kakak Nindi.

Rafi berdecak kesal, kemudian melepaskan pelukan Nindi secara paksa.

"Kek nggak pernah ketemu aja, orang kalo malem ketemu juga" decak Rafi kepada Nindi yang kini malah cengengesan tanpa dosa.

"Yaelah kak, dipeluk doang juga. Lagian nih ya gue itu adek lo, masa gue nggak boleh meluk lo sih?" ucap Nindi kesal sambil memanyunkan bibirnya.

"Adek apaan, emang ada ya, adek kalo ada maunya doang baik sama kakaknya?" sindir Rafi, tak lupa pria itu juga menatap tajam kearah Nindi.

Nindi kembali cengengesan. "Ya, karena itu gunanya lo ada di dunia ini kak, supaya bisa dimintain tolong sama gue"

Rafi memutar bola matanya malas. Dosa apa dirinya mempunyai seorang adik seperti Nindi ini. Udah cerewet, suaranya kayak toa, otaknya miring sebelah, manjanya minta ampun dan kalo ngomong suka asal ceplos lagi tanpa melihat keadaan sekitar. Rafi jadi depresot jika menghadapi adik perempuan satu-satunya ini.

"Ehh.. disebelah lo ada siapa?" tanya Rafi yang baru sadar akan keberadaan Fannya yang sedari tadi hanya diam saja.

"Ohh.. dia" Nindi langsung merangkul leher Fannya, "dia temen gue, namanya Fannya" Nindi memperkenalkan Fannya pada Rafi.

"Ohh.. hai, nama gue Rafi. Kakaknya mak lampir" Rafi mengulurkan tangannya pada Fannya dan sesekali melirik Nindi yang kini mendengus kesal akibat perkataannya tadi.

Fannya terkekeh pelan. "Hai, kak. Namaku Fannya, Fannya Carolina Meydissa" ujar Fannya ramah, kemudian menerima uluran tangan dari Rafi singkat.

"Jadi gimana?" tanya Rafi kemudian.

"Apanya yang gimana?" Nindi balik bertanya. Rafi mendengus kesal.

"Jadi nggak, katanya lo mau liat pasien dengan atas nama Adera Monicasari, kan?" ucap Rafi datar.

Blood is Love (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang