7 tahun kemudian .....
Jaemin kecil sudah tak ada lagi, kini Jaemin telah berusia 14 tahun. Lelaki itu bukan lagi anak sd tapi Jaemin sudah duduk di bangku kelas 9 sekolah menengah pertama. Makian selalu diterimanya setiap hari, serta pukulan dari ayahnya sudah menjadi makanannya. Makan itu harus setiap hari dan bagi Lee Doyoung, memukul Jaemin itu seperti makan, harus setiap hari.
Jaemin tak pernah keluar malam layaknya anak remaja di luar sana. Pulang sekolah, Jaemin harus mencuci pakaian kotor dan memasak untuk makan malam. Ayahnya tentu tak kasihan dengannya yang kewalahan buktinya lelaki itu sama sekali tak mencari asisten untuk meringankan beban putra bungsunya.
Seperti saat ini, Jaemin tengah menata masakannya di atas meja tanpa dibantu Mark ataupun Jeno. Ia selalu melakukannya setiap hari. Bahkan tangan lembut tak ada artinya lagi bagi Jaemin. Tangannya kasar, tak sebanding dengan tangan Mark dan Jeno yang setiap hari hanya memegang buku dan pulpen.
Setelah menata makanan, Jaemin mengambil sepiring nasi beserta lauk untuk dimakannya. Bukan makan di meja makan tapi makan di kamar. Makan bersama-sama jauh lebih nikmat tapi Jaemin juga harus belajar walaupun sambil makan. Selalu seperti itu, belajar sambil makan dan setelah keluarganya selesai makan, Jaemin kembali lagi ke dapur untuk membereskannya dan mencuci piring kotor. Rumah tak pernah kotor karna Jaemin selalu membersihkannya. Seorang diri.
Di sela-sela kegiatannya, Lee Doyoung berteriak memanggilnya. Mencuci tangannya sampai bersih, Jaemin berlari menghampiri sang ayah di ruang kerjanya. Ruangan itu tersedia sapu. Kegunaan sapu adalah untuk membersihkan lantai tapi berbeda dengan Lee Doyoung. Baginya, kegunaan sapu adalah untuk memukul kaki Jaemin.
"Ayah." Jaemin mengetuk pintu dihadapannya yang tidak tertutup rapat.
"Masuk."
Jaemin masuk, mendekati Lee Doyoung. "Ayah manggil Nana?."
Lee Doyoung berdehem, "Kata abang kamu, kamu terlambat pulang?."
Jaemin mengangguk, benar adanya. Jaemin terlambat pulang karna teman-temannya menyembunyi tasnya jadi ia harus mencarinya. Semenjak menginjak bangku kelas 7, Jaemin tak pernah lagi diantar maupun dijemput oleh Lee Doyoung. Begitu pun dengan Mark dan Jeno. Bedanya, Mark dan Jeno disiapkan mobil untuk digunakan ke sekolah bahkan kemana pun perginya, Mark dan Jeno selalu menggunakan mobil. Kata Lee Doyoung agar kalian tidak kepanasan.
Lalu bagaimana dengan Jaemin yang ke sekolah hanya menggunakan motor?. Meski hujan, Jaemin tetap sekolah. Meski kepanasan, Jaemin tetap pulang. Sangat tidak adil tapi it's okey. Setidaknya Jaemin tidak jalan kaki.
Lee Doyoung mencambak rambut Jaemin kasar, "Keluyuran kamu hah?!." Gerutunya kemudian menghempas cambakannya.
"Nggak Yah."
"Terus kenapa pulang terlambat?. Mau jadi apa kamu?!." Lee Doyoung mendorong pelipis Jaemin menggunakan telunjuknya.
"Tas Nana di sembunyi." Jawabnya.
"Alasan seperti apa itu?!. Pembullyan itu sudah tidak ada, Na Jaemin." Lee Doyoung meraih sapu, melihat hal itu membuat Jaemin tersenyum. Bibirnya tersenyum namun matanya tidak bisa berbohong.
Lee Doyoung memukuli Jaemin berkali-kali hingga sapu itu patah. Bukannya berhenti, ayahnya malah mengambil patahannya kemudian kembali memukuli Jaemin. Sang empu diam saja diperlakukan seperti itu, toh melawan tak ada gunanya. Lee Doyoung pasti akan lebih gencar menyakitinya.
Sebagai penutupan, Lee Doyoung menendang perut Jaemin kemudian membenturkan kepala Jaemin di dinding. "ITU KARNA KAMU BERANI BOHONG KE AYAH."
"Nana gak bohong, ayah. Mereka emang nyembunyiin tas Nana."
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTER LIFE (REVISI)
Teen FictionKebahagiaan yang tak pernah berpihak kepada seorang anak laki-laki yang bernama Na Jaemin. Kepahitan dan kekejaman dunia seolah ditakdirkan untuk dirasakannya setiap saat. Na Jaemin.