7. White Rose

810 202 102
                                    

Bel pulang berbunyi sekitar 20 menit yang lalu namun seorang anak laki-laki masih berada di depan gerbang menunggu sang ayah menjemputnya. Abangnya yang satu sekolah dengannya sama sekali tak menampakkan batang hidungnya, pikirnya Jeno sudah pulang. Lebih ke intinya, Jeno meninggalkannya seorang diri di sekolah.

Jaemin terlambat keluar dari kelas karna besok adalah jadwal piketnya jadi ia harus membersihkan kelas sebelum pulang agar besok pagi, dirinya tak usah membersihkan lagi. Setiap hari yang piket 6 orang namun karna hanya Jaemin seorang yang membersihkan alhasil ia terlambat keluar. Teman-temannya mengancamnya akan selalu menyakitinya jika tidak menurut jadi mau tidak mau Jaemin mengiyakannya. Tentunya tanpa sepengetahuan Renjun, karna anak itu pulang lebih awal.

Sepi. Sekolah sudah sangat sepi bahkan tak ada satu pun murid yang terlihat kecuali Na Jaemin. Anak itu mendongak menatap langit gelap yang sebentar lagi akan menumpahkan kesedihannya dan membasahi bumi. Helaan nafas terdengar dengan atensi yang tertuju pada jalan raya dimana sang bunda terpental dan berakhir tak diinginkan. Atensinya beralih menatap pot bunga yang ditanamkan bunga mawar putih yang sangat indah. Jaemin tertarik memetik setangkai kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada pengendara yang melintas, Jaemin berlari ke jalan raya untuk meletakkan bunga yang ia petik tadi di tempat tepat kejadian mengerikan terjadi.

Seumur hidupnya, ia takkan melupakan kejadian mengerikan yang sudah merenggut nyawa bundanya, Na Mi Young. Kehilangan sosok yang sangat berarti dalam hidupnya bahkan keluarganya membuat hidupnya berubah drastis. Rasa sedih, takut, rindu, dan marah bercampur menjadi satu dalam benak Jaemin. Sedih kala mengingat bundanya dimasukkan ke liang lahat tempat teristirahatan terakhirnya, takut kala mengingat semengerikan apa kejadian yang telah berlalu, rindu akan kehadiran dan kasih sayang seorang bunda, dan marah karna hanya menolong seekor kelinci, dirinya menjadi kehilangan Na Mi Young.

Jaemin tak menyalahkan anak kucing itu, di kejadian itu dirinyalah yang sepenuhnya salah. Andai ia tak berlari sembarangan ke jalan raya mungkin saja Na Mi Young masih hidup, masih membangunkannya di pagi hari, masih membuatkannya susu, dan masih menciumnya kala akan tidur.

Rintik hujan mulai berjatuhan secara perlahan,  dalam sekejap mata rintikan itu menciptakan derasnya hujan di siang hari. Tak masalah jika seragamnya basah namun andai dirinya tidak memakai tas, mungkin ia akan membiarkan dirinya diguyur derasnya hujan. Menyelamatkan perlengkapan alat tulisnya jauh lebih penting sekarang. Jaemin, anak itu berdiri lalu berlari ke halte. Sialnya, kakinya tersandung membuatnya terjatuh dengan posisi layaknya seorang balita yang merangkak. Tak memperdulikan lutut dan telapak tangannya, Jaemin bangkit untuk segera ke halte sebelum bukunya basah.

"Bunda, gimana cara Nana pulang." Lirihnya sama sekali tak memperdulikan lututnya yang semakin perih.

Jaemin mendongak, menatap langit yang tak terlihat. "Bunda liat Nana disini gak?. Nana masih di sekolah, Nda."

"Bunda temenin Nana bentar ya sampe ayah dateng."

"Baik-baik di sana Bunda, Nana sayang bunda sampai kapan pun."

Jaemin bermonolog di tengah derasnya hujan bahkan melambaikan tangannya ke langit seolah melambaikan tangannya ke Na Mi Young. Yakin bahwa Na Mi Young mendengarnya dan menemaninya walaupun kenyataannya dia seorang diri di halte.

Hujan sudah reda namun Lee Doyoung belum menjemputnya. 3 jam lamanya Jaemin duduk di halte menunggu sang ayah datang namun sepertinya hal itu tidak akan terjadi. Perutnya juga sudah berkeroncongan meminta makan. Naik angkutan umum sepertinya mustahil, Jaemin tak mengerti bagaimana cara berkomunikasi dengan supir dan mengingat ia tak memiliki uang. Tak ada pilihan lain, Jaemin mengambil tasnya, ia akan jalan kaki meski jarak rumah ke sekolah lumayan jauh tapi mau bagaimana lagi.

BITTER LIFE (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang